Jumat, 25 Februari 2011

PERGAULAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN

PERGAULAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN

Kesulitan kita - sebagaimana yang sering saya kemukakan -

ialah bahwa dalam memandang berbagai persoalan agama,

umumnya masyarakat berada dalam kondisi ifrath (berlebihan)

dan tafrith (mengabaikan). Jarang sekali kita temukan sikap

tawassuth (pertengahan) yang merupakan salah satu

keistimewaan dan kecemerlangan manhaj Islam dan umat Islam.



Sikap demikian juga sama ketika mereka memandang masalah

pergaulan wanita muslimah di tengah-tengah masyarakat. Dalam

hal ini, ada dua golongan masyarakat yang saling

bertentangan dan menzalimi kaum wanita.



Pertama, golongan yang kebarat-baratan yang menghendaki

wanita muslimah mengikuti tradisi Barat yang bebas tetapi

merusak nilai-nilai agama dan menjauh dari fitrah yang lurus

serta jalan yang lempang. Mereka jauh dari Allah yang telah

mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya untuk

menjelaskan dan menyeru manusia kepada-Nya.



Mereka menghendaki wanita muslimah mengikuti tata kehidupan

wanita Barat "sejengkal demi sejengkal, sehasta demi

sehasta" sebagaimana yang digambarkan oleh hadits Nabi,

sehingga andaikata wanita-wanita Barat itu masuk ke lubang

biawak niscaya wanita muslimah pun mengikuti di belakangnya.

Sekalipun lubang biawak tersebut melingkar-lingkar, sempit,

dan pengap, wanita muslimah itu akan tetap merayapinya. Dari

sinilah lahir "solidaritas" baru yang lebih dipopulerkan

dengan istilah "solidaritas lubang biawak."



Mereka melupakan apa yang dikeluhkan wanita Barat sekarang

serta akibat buruk yang ditimbulkan oleh pergaulan bebas

itu, baik terhadap wanita maupun laki-laki, keluarga, dan

masyarakat. Mereka sumbat telinga mereka dari

kritikan-kritikan orang yang menentangnya yang datang silih

berganti dari seluruh penjuru dunia, termasuk dari Barat

sendiri. Mereka tutup telinga mereka dari fatwa para ulama,

pengarang, kaum intelektual, dan para muslihin yang

mengkhawatirkan kerusakan yang ditimbulkan peradaban Barat,

terutama jika semua ikatan dalan pergaulan antara laki-laki

dan perempuan benar-benar terlepas.



Mereka lupa bahwa tiap-tiap umat memiliki kepribadian

sendiri yang dibentuk oleh aqidah dan pandangannya terhadap

alam semesta, kehidupan, tuhan, nilai-nilai agama, warisan

budaya, dan tradisi. Tidak boleh suatu masyarakat melampaui

tatanan suatu masyarakat lain.



Kedua, golongan yang mengharuskan kaum wanita mengikuti

tradisi dan kebudayaan lain, yaitu tradisi Timur, bukan

tradisi Barat. Walaupun dalam banyak hal mereka telah

dicelup oleh pengetahuan agama, tradisi mereka tampak lebih

kokoh daripada agamanya. Termasuk dalam hal wanita, mereka

memandang rendah dan sering berburuk sangka kepada wanita.



Bagaimanapun, pandangan-pandangan diatas bertentangan dengan

pemikiran-pemikiran lain yang mengacu pada Al-Qur'anul Karim

dan petunjuk Nabi saw. serta sikap dan pandangan para

sahabat yang merupakan generasi muslim terbaik.



Ingin saya katakan disini bahwa istilah ikhtilath

(percampuran) dalam lapangan pergaulan antara laki-laki

dengan perempuan merupakan istilah asing yang dimasukkan

dalam "Kamus Islam." Istilah ini tidak dikenal dalam

peradaban kita selama berabad-abad yang silam, dan baru

dikenal pada zaman sekarang ini saja. Tampaknya ini

merupakan terjemahan dari kata asing yang punya konotasi

tidak menyenangkan terhadap perasaan umat Islam. Barangkali

lebih baik bila digunakan istilah liqa' (perjumpaan),

muqabalah (pertemuan), atau musyarakrah (persekutuan)

laki-laki dengan perempuan.



Tetapi bagaimanapun juga, Islam tidak menetapkan hukum

secara umum mengenai masalah ini. Islam justru

memperhatikannya dengan melihat tujuan atau kemaslahatan

yang hendak diwujudkannya, atau bahaya yang

dikhawatirkannya, gambarannya, dan syarat-syarat yang harus

dipenuhinya, atau lainnya.



Sebaik-baik petunjuk dalam masalah ini ialah petunjuk Nabi

Muhammad saw., petunjuk khalifah-khalifahnya yang lurus, dan

sahabat-sahabatnya yang terpimpin.



Orang yang mau memperhatikan petunjuk ini, niscaya ia akan

tahu bahwa kaum wanita tidak pernah dipenjara atau diisolasi

seperti yang terjadi pada zaman kemunduran umat Islam.



Pada zaman Rasulullah saw., kaum wanita biasa menghadiri

shalat berjamaah dan shalat Jum'at. Beliau saw. menganjurkan

wanita untuk mengambil tempat khusus di shaf (baris)

belakang sesudah shaf laki-laki. Bahkan, shaf yang paling

utama bagi wanita adalah shaf yang paling belakang. Mengapa?

Karena, dengan paling belakang, mereka lebih terpelihara

dari kemungkinan melihat aurat laki-laki. Perlu diketahui

bahwa pada zaman itu kebanyakan kaum laki-laki belum

mengenal celana.



Pada zaman Rasulullah saw. (jarak tempat shalat) antara

laki-laki dengan perempuan tidak dibatasi dengan tabir sama

sekali, baik yang berupa dinding, kayu, kain, maupun

lainnya. Pada mulanya kaum laki-laki dan wanita masuk ke

masjid lewat pintu mana saja yang mereka sukai, tetapi

karena suatu saat mereka berdesakan, baik ketika masuk

maupun keluar, maka Nabi saw. bersabda:



"Alangkah baiknya kalau kamu jadikan pintu ini untuk wanita"



Dari sinilah mula-mula diberlakukannya pintu khusus untuk

wanita, dan sampai sekarang pintu itu terkenal dengan

istilah "pintu wanita."



Kaum wanita pada zaman Nabi saw. juga biasa menghadiri

shalat Jum'at, sehingga salah seorang diantara mereka ada

yang hafal surat "Qaf." Hal ini karena seringnya mereka

mendengar dari lisan Rasulullah saw. ketika berkhutbah

Jum'at.



Kaum wanita juga biasa menghadiri shalat Idain (Hari Raya

Idul Fitri dan Idul Adha). Mereka biasa menghadiri hari raya

Islam yang besar ini bersama orang dewasa dan anak-anak,

laki-laki dan perempuan, di tanah lapang dengan bertahlil

dan bertakbir.



Imam Muslim meriwayatkan dari Ummu Athiyah, katanya:



"Kami diperintahkan keluar (untuk menunaikan shalat dan

mendengarkan khutbah) pada dua hari raya, demikian pula

wanita-wanita pingitan dan para gadis."



Dan menurut satu riwayat Ummu Athiyah berkata:



"Rasulullah saw. menyuruh kami mengajak keluar kaum wanita

pada hari raya Fitri dan Adha, yaitu wanita-wanita muda,

wanita-wanita yang sedang haid, dan gadis-gadis pingitan.

Adapun wanita-wanita yang sedang haid, mereka tidak

mengerjakan shalat, melainkan mendengarkan nasihat dan

dakwah bagi umat Islam (khutbah, dan sebagainya). Aku (Ummu

Athiyah) bertanya, 'Ya Rasulullah salah seorang diantara

kami tidak mempunyai jilbab.' Beliau menjawab, 'Hendaklah

temannya meminjamkan jilbab yang dimilikinya.'"1



Ini adalah sunnah yang telah dimatikan umat Islam di semua

negara Islam, kecuali yang belakangan digerakkan oleh

pemuda-pemuda Shahwah Islamiyyah (Kebangkitan Islam). Mereka

menghidupkan sebagian sunnah-sunnah Nabi saw. yang telah

dimatikan orang, seperti sunnah i'tikaf pada sepuluh hari

terakhir bulan Ramadhan dan sunnah kehadiran kaum wanita

pada shalat Id.



Kaum wanita juga menghadiri pengajian-pengajian untuk

mendapatkan ilmu bersama kaum laki-laki di sisi Nabi saw.

Mereka biasa menanyakan beberapa persoalan agama yang

umumnya malu ditanyakan oleh kaum wanita. Aisyah r.a. pernah

memuji wanita-wanita Anshar yang tidak dihalangi oleh rasa

malu untuk memahami agamanya, seperti menanyakan masalah

jinabat, mimpi mengeluarkan sperma, mandi junub, haid,

istihadhah, dan sebagainya.



Tidak hanya sampai disitu hasrat mereka untuk menyaingi kaum

laki-laki dalam menimba-ilmu dari Rasululah saw. Mereka juga

meminta kepada Rasulullah saw. agar menyediakan hari

tertentu untuk mereka, tanpa disertai kaum laki-laki. Hal

ini mereka nyatakan terus terang kepada Rasulullah saw.,

"Wahai Rasulullah, kami dikalahkan kaum laki-laki untuk

bertemu denganmu, karena itu sediakanlah untuk kami hari

tertentu untuk bertemu denganmu." Lalu Rasulullah saw.

menyediakan untuk mereka suatu hari tertentu guna bertemu

dengan mereka, mengajar mereka, dan menyampaikan

perintah-perintah kepada mereka.2



Lebih dari itu kaum wanita juga turut serta dalam perjuangan

bersenjata untuk membantu tentara dan para mujahid, sesuai

dengan kemampuan mereka dan apa yang baik mereka kerjakan,

seperti merawat yang sakit dan terluka, disamping memberikan

pelayanan-pelayanan lain seperti memasak dan menyediakan air

minum. Diriwayatkan dari Ummu Athiyah, ia berkata:



"Saya turut berperang bersama Rasulullah saw. sebanyak tujuh

kali, saya tinggal di tenda-tenda mereka, membuatkan mereka

makanan, mengobati yang terluka, dan merawat yang sakit."3



Imam Muslim juga meriwayatkan dari Anas:



"Bahwa Aisyah dan Ummu Sulaim pada waktu perang Uhud sangat

cekatan membawa qirbah (tempat air) di punggungnya kemudian

menuangkannya ke mulut orang-orang, lalu mengisinya lagi."4



Aisyah r.a. yang waktu itu sedang berusia belasan tahun

menepis anggapan orang-orang yang mengatakan bahwa

keikutsertaan kaum wanita dalam perang itu terbatas bagi

mereka yang telah lanjut usia. Anggapan ini tidak dapat

diterima, dan apa yang dapat diperbuat wanita-wanita yang

telah berusia lanjut dalam situasi dan kondisi yang menuntut

kemampuan fisik dan psikis sekaligus?



Imam Ahmad meriwayatkan bahwa enam orang wanita mukmin turut

serta dengan pasukan yang mengepung Khaibar. Mereka memungut

anak-anak panah, mengadoni tepung, mengobati yang sakit,

mengepang rambut, turut berperang di jalan Allah, dan Nabi

saw memberi mereka bagian dari rampasan perang.



Bahkan terdapat riwayat yang sahih yang menceritakan bahwa

sebagian istri para sahabat ada yang turut serta dalam

peperangan Islam dengan memanggul senjata, ketika ada

kesempatan bagi mereka. Sudah dikenal bagaimana yang

dilakukan Ummu Ammarah Nusaibah binti Ka'ab dalam perang

Uhud, sehingga Nabi saw. bersabda mengenai dia, "Sungguh

kedudukannya lebih baik daripada si Fulan dan si Fulan."



Demikian pula Ummu Sulaim menghunus badik pada waktu perang

Hunain untuk menusuk perut musuh yang mendekat kepadanya.



Imam Muslim meriwayatkan dari Anas, anaknya (anak Ummu

Sulaim) bahwa Ummu Sulaim menghunus badik pada waktu perang

Hunain, maka Anas menyertainya. Kemudian suami Ummu Sulaim

Abu Thalhah, melihatnya lantas berkata, "Wahai Rasulullah,

ini Ummu Sulaim membawa badik." Lalu Rasululah saw. bertanya

kepada Ummu Sulaim, "Untuk apa badik ini? Ia menjawab, "Saya

mengambilnya, apabila ada salah seorang musyrik mendekati

saya akan saya tusuk perutnya dengan badik ini." Kemudian

Rasulullah saw. tertawa.5



Imam Bukhari telah membuat bab tersendiri didalam Shahih-nya

mengenai peperangan yang dilakukan kaum wanita.



Ambisi kaum wanita muslimah pada zaman Nabi saw. untuk turut

perang tidak hanya peperangan dengan negara-negara tetangga

atau yang berdekatan dengan negeri Arab seperti Khaibar dan

Hunain saja tetapi mereka juga ikut melintasi lautan dan

ikut menaklukkan daerah-daerah yang jauh guna menyampaikan

risalah Islam.



Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Anas bahwa

pada suatu hari Rasulullah saw. tidur siang di sisi Ummu

Haram binti Mulhan - bibi Anas - kemudian beliau bangun

seraya tertawa. Lalu Ummu Haram bertanya, "Mengapa engkau

tertawa, wahai Rasulullah?" Beliau bersabda, "Ada beberapa

orang dari umatku yang diperlihatkan kepadaku berperang fi

sabilillah. Mereka menyeberangi lautan seperti raja-raja

naik kendaraan." Ummu Haram berkata, "Wahai Rasulullah,

doakanlah kepada Allah agar Dia menjadikan saya termasuk

diantara mereka." Lalu Rasulullah saw. mendoakannya.6



Dikisahkan bahwa Ummu Haram ikut menyeberangi lautan pada

zaman Utsman bersama suaminya Ubadah bin Shamit ke Qibris.

Kemudian ia jatuh dari kendaraannya (setelah menyeberang)

disana, lalu meninggal dan dikubur di negeri tersebut,

sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli sejarah.7



Dalam kehidupan bermasyarakat kaum wanita juga turut serta

berdakwah: menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari

perbuatan munkar, sebagaimana firman Allah:



"Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan

sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang

lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah

dari yang munkar..." (at-Taubah: 71 )



Diantara peristiwa yang terkenal ialah kisah salah seorang

wanita muslimah pada zaman khalifah Umar bin Khattab yang

mendebat beliau di sebuah masjid. Wanita tersebut menyanggah

pendapat Umar mengenai masalah mahar (mas kawin), kemudian

Umar secara terang-terangan membenarkan pendapatnya, seraya

berkata, "Benar wanita itu, dan Umar keliru." Kisah ini

disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam menafsirkan surat

an-Nisa', dan beliau berkata, "Isnadnya bagus." Pada masa

pemerintahannya, Umar juga telah mengangkat asy-Syifa binti

Abdullah al-Adawiyah sebagai pengawas pasar.



Orang yang mau merenungkan Al-Qur'an dan hadits tentang

wanita dalam berbagai masa dan pada zaman kehidupan para

rasul atau nabi, niscaya ia tidak merasa perlu mengadakan

tabir pembatas yang dipasang oleh sebagian orang antara

laki-laki dengan perempuan.



Kita dapati Musa - ketika masih muda dan gagah perkasa -

bercakap-cakap dengan dua orang gadis putri seorang syekh

yang telah tua (Nabi Syusaib; ed.). Musa bertanya kepada

mereka dan mereka pun menjawabnya dengan tanpa merasa

berdosa atau bersalah, dan dia membantu keduanya dengan

sikap sopan dan menjaga diri. Setelah Musa membantunya,

salah seorang di antara gadis tersebut datang kepada Musa

sebagai utusan ayahnya untuk memanggil Musa agar menemui

ayahnya. Kemudian salah seorang dari kedua gadis itu

mengajukan usul kepada ayahnya agar Musa dijadikan

pembantunya, karena dia seorang yang kuat dan dapat

dipercaya.



Marilah kita baca kisah ini dalam Al-Qur'an:



"Dan tatkala ia (Musa) sampai di sumber air negeri Madyan ia

menjumpai disana sekumpulan orang yang sedang meminumi

(ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu,

dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa

berkata, 'Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu.?)' Kedua

wanita itu menjawab, 'Kami tidak dapat meminumi (ternak

kami), sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan

(ternaknya), sedangkan bapak kami adalah orang tua yang

telah lanjut umurnya.' Maka Musa memberi minum ternak itu

untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat

yang teduh lalu berdoa, 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat

memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.'

Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua

wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata, 'Sesungguhnya

bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap

(kebaikan)-mu memberi minum (ternak)kami.' Maka tatkala Musa

mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya

cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata, 'Janganlah kamu

takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu.'

Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, 'Ya bapakku,

ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena

sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk

bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat

dipercaya.'" (al-Qashash: 23-26)



Mengenai Maryam, kita jumpai Zakaria masuk ke mihrabnya dan

menanyakan kepadanya tentang rezeki yang ada di sisinya:



"... Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia

dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata, 'Hai Maryam,

dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?' Maryam menjawab,

'Makanan itu dari sisi Allah.' Sesungguhnya Allah memberi

rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab."(Ali

Imran: 37)



Lihat pula tentang Ratu Saba, yang mengajak kaumnya

bermusyawarah mengenai masalah Nabi Sulaiman:



"Berkata dia (Bilqis), 'Hai para pembesar, berilah aku

pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah

memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam

majlis-(ku).' Mereka menjawab, 'Kita adalah orang-orang yang

memilih kekuatan dan (juga) memilih keberanian yang sangat

(dalam peperangan), dan keputusan berada di tanganmu; maka

pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan.' Dia

berkata, 'Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu

negeri, niscaya mereka membinasakannya dan menjadikan

penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang

akan mereka perbuat." (an-Naml 32-34)



Berikut ini percakapan antara Bilqis dan Sulaiman:



"Dan ketika Bilqis datang, ditanyakantah kepadanya, 'Serupa

inikah singgasanamu?' Dia menjawab, 'Seakan akan

singgasanamu ini singgasanaku, kami telah diberi pengetahuan

sebelumnya dan kamõ adalah orang-orang yang berserah diri.'

Dan apa yang disembahnya selama ini selain Allah,

mencegahnya (untuk melahirkan keislamannya), karena

sesungguhnya dia dahulunya termasuk orang-orang yang kafir.

Dikatakan kepadanya, 'Masuk1ah ke dalam istana.' Maka

tatka1a ia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air

yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah

Sulaiman, 'Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari

kaca. 'Berkata1ah Bilqis, 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku

telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri

bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta

alam.'"(an-Naml: 42-44)



Kita tidak boleh mengatakan "bahwa syariat (dalam kisah di

atas) adalah syariat yang hanya berlaku pada zaman sebelum

kita (Islam) sehingga kita tidak perlu mengikutinya."

Bagaimanapun, kisah-kisah yang disebutkan dalam Al-Qur'an

tersebut dapat dijadikan petunjuk, peringatan, dan pelajaran

bagi orang-orang berpikiran sehat. Karena itu, perkataan

yang benar mengenai masalah ini ialah "bahwa syariat orang

sebelum kita yang tercantum dalam Al-Qur' an dan As-Sunnah

adalah menjadi syariat bagi kita, selama syariat kita tidak

menghapusnya."



Allah telah berfirman kepada Rasul-Nya:



"Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh

Allah, maka ikutilah petunjuk mereka ..." (al-An'am: 90)



Sesungguhnya menahan wanita dalam rumah dan membiarkannya

terkurung didalamnya dan tidak memperbolehkannya keluar dari

rumah oleh Al-Qur'an - pada salah satu tahap diantara

tahapan-tahapan pembentukan hukum sebelum turunnya nash yang

menetapkan bentuk hukuman pezina sebagaimana yang terkenal

itu - ditentukan bagi wanita muslimah yang melakukan

perzinaan. Hukuman ini dianggap sebagai hukuman yang sangat

berat. Mengenai masalah ini Allah berfirman:



"Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji,

hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang

menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi

persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam

rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai memberi

jalan lain kepadanya." (an-Nisa': 15 )



Setelah itu Allah memberikan jalan bagi mereka ketika Dia

mensyariatkan hukum had, yaitu hukuman tertentu dalam syara'

sebagai hak Allah Ta'ala. Hukuman tersebut berupa hukuman

dera (seratus kali) bagi ghairu muhshan (laki-laki atau

wanita belum kawin) menurut nash Al-Qur'an, dan hukum rajam

bagi yang mahshan (laki-laki atau wanita yang sudah kawin)

sebagaimana disebutkan dalam As-Sunnah.



Jadi, bagaimana mungkin logika Al-Qur'an dan Islam akan

menganggap sebagai tindakan lurus dan tepat jika wanita

muslimah yang taat dan sopan itu harus dikurung dalam rumah

selamanya? Jika kita melakukan hal itu, kita seakan-akan

menjatuhkan hukuman kepadanya selama-lamanya, padahal dia

tidak berbuat dosa.



KESIMPULAN



Dari penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa

pertemuan antara laki-laki dengan perempuan tidak haram,

melainkan jaiz (boleh). Bahkan, hal itu kadang-kadang

dituntut apabila bertujuan untuk kebaikan, seperti dalam

urusan ilmu yang bermanfaat, amal saleh, kebajikan,

perjuangan, atau lain-lain yang memerlukan banyak tenaga,

baik dari laki-laki maupun perempuan.



Namun, kebolehan itu tidak berarti bahwa batas-batas

diantara keduanya menjadi lebur dan ikatan-ikatan syar'iyah

yang baku dilupakan. Kita tidak perlu menganggap diri kita

sebagai malaikat yang suci yang dikhawatirkan melakukan

pelanggaran, dan kita pun tidak perlu memindahkan budaya

Barat kepada kita. Yang harus kita lakukan ialah bekerja

sama dalam kebaikan serta tolong-menolong dalam kebajikan

dan takwa, dalam batas-batas hukum yang telah ditetapkan

oleh Islam. Batas-batas hukum tersebut antara lain:



1. Menahan pandangan dari kedua belah pihak. Artinya, tidak

boleh melihat aurat, tidak boleh memandang dengan syahwat,

tidak berlama-lama memandang tanpa ada keperluan. Allah

berfirman:



"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman,

'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara

kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi

mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang

mereka perbuat.' Katakanlah kepada wanita yang beriman,

'Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara

kemaluannya ..."(an-Nur: 30-31)



2. Pihak wanita harus mengenakan pakaian yang sopan yang

dituntunkan syara', yang menutup seluruh tubuh selain muka

dan telapak tangan. Jangan yang tipis dan jangan dengan

potongan yang menampakkan bentuk tubuh. Allah berfirman:



"... dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali

yang biasa tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka

menutupkan kain kudung ke dadanya ..." (an-Nur: 31 )



Diriwayatkan dari beberapa sahabat bahwa perhiasan yang

biasa tampak ialah muka dan tangan.



Allah berfirman mengenai sebab diperintahkan-Nya berlaku

sopan:



"... Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk

dikenal, karena itu mereka tidak diganggu ..." (al-Ahzab:

59)



Dengan pakaian tersebut, dapat dibedakan antara wanita yang

baik-baik dengan wanita nakal. Terhadap wanita yang

baik-baik, tidak ada laki-laki yang suka mengganggunya,

sebab pakaian dan kesopanannya mengharuskan setiap orang

yang melihatnya untuk menghormatinya.



3. Mematuhi adab-adab wanita muslimah dalam segala hal,

terutama dalam pergaulannya dengan laki-laki:



a. Dalam perkataan, harus menghindari perkataan yang merayu

dan membangkitkan rangsangan. Allah berfirman:



"... Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga

berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan

ucapkanlah perkataan yang baik." (al-Ahzab: 32)



b. Dalam berjalan, jangan memancing pandangan orang. Firman

Allah:



"... Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui

perhiasan yang mereka sembunyikan..." (an-Nur: 31)



Hendaklah mencontoh wanita yang diidentifikasikan oleh Allah

dengan firman-Nya:



"Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua

wanita itu berjalan kemalu-maluan ..." (al-Qashash: 25)



c. Dalam gerak, jangan berjingkrak atau berlenggak-lenggok,

seperti yang disebut dalam hadits:



"(Yaitu) wanita-wanita yang menyimpang dari ketaatan dan

menjadikan hati laki-laki cenderung kepada kerusakan

(kemaksiatan).8 HR Ahmad dan Muslim)



Jangan sampai ber-tabarruj (menampakkan aurat) sebagaimana

yang dilakukan wanita-wanita jahiliah tempo dulu atau pun

jahiliah modern



4. Menjauhkan diri dari bau-bauan yang harum dan warna-warna

perhiasan yang seharusnya dipakai di rumah, bukan di jalan

dan di dalam pertemuan-pertemuan dengan kaum laki-laki.



5. Jangan berduaan (laki-laki dengan perempuan) tanpa

disertai mahram. Banyak hadits sahih yang melarang hal ini

seraya mengatakan, 'Karena yang ketiga adalah setan.'



Jangan berduaan sekalipun dengan kerabat suami atau istri.

Sehubungan dengan ini, terdapat hadits yang berbunyi:



"Jangan kamu masuk ke tempat wanita." Mereka (sahabat)

bertanya, "Bagaimana dengan ipar wanita." Beliau menjawab,

"Ipar wanita itu membahayakan." (HR Bukhari)



Maksudnya, berduaan dengan kerabat suami atau istri dapat

menyebabkan kebinasaan, karena bisa jadi mereka duduk

berlama-lama hingga menimbulkan fitnah.



6. Pertemuan itu sebatas keperluan yang dikehendaki untuk

bekerja sama, tidak berlebih-lebihan yang dapat mengeluarkan

wanita dari naluri kewanitaannya, menimbulkan fitnah, atau

melalaikannya dari kewajiban sucinya mengurus rumah tangga

dan mendidik anak-anak.



Catatan kaki:



1 Shahih Muslim, "Kitab Shalatul Idain," hadits nomor 823.

2 Hadits riwayat Bukhari dalam Shahih-nya, "Kitab al-Ilm."

3 Shahih Muslim, hadits nomor 1812.

4 Shahih Muslim, nomor 1811.

5 Shahih Muslim, nomor 1809.

6 Shahih Muslim, hadits nomor 1912.

7 Lihat Shahih Muslim pada nomor-nomor setelah hadits

di atas. (penj.).

8 Mumiilat dan Maailaat mengandung empat macam pengertian.

Pertama, menyimpang dari menaati Allah dan tidak mau

memenuhi kewajiban-kewajibannya seperti menjaga kehormatan

dan sebagainya, dan mengajari wanita lain supaya berbuat

seperti ite. Kedua, berjalan dengan sombong dan melenggak-

lenggokkan pundaknya (tubuhnya). Ketiga, maailaat, menyisir

rambutnya sedemikian rupa dengan gaya pelacur.

Mumiilaat: menyisir wanita lain seperti sisirannya.

Keempat, cenderung kepada laki-laki dan berusaha menariknya

dengan menampakkan perhiasannya dan sebagainya

(Syarah Muslim, 17: 191 penj.).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar