Jumat, 25 Februari 2011

PERGAULAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN

PERGAULAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN

Kesulitan kita - sebagaimana yang sering saya kemukakan -

ialah bahwa dalam memandang berbagai persoalan agama,

umumnya masyarakat berada dalam kondisi ifrath (berlebihan)

dan tafrith (mengabaikan). Jarang sekali kita temukan sikap

tawassuth (pertengahan) yang merupakan salah satu

keistimewaan dan kecemerlangan manhaj Islam dan umat Islam.



Sikap demikian juga sama ketika mereka memandang masalah

pergaulan wanita muslimah di tengah-tengah masyarakat. Dalam

hal ini, ada dua golongan masyarakat yang saling

bertentangan dan menzalimi kaum wanita.



Pertama, golongan yang kebarat-baratan yang menghendaki

wanita muslimah mengikuti tradisi Barat yang bebas tetapi

merusak nilai-nilai agama dan menjauh dari fitrah yang lurus

serta jalan yang lempang. Mereka jauh dari Allah yang telah

mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya untuk

menjelaskan dan menyeru manusia kepada-Nya.



Mereka menghendaki wanita muslimah mengikuti tata kehidupan

wanita Barat "sejengkal demi sejengkal, sehasta demi

sehasta" sebagaimana yang digambarkan oleh hadits Nabi,

sehingga andaikata wanita-wanita Barat itu masuk ke lubang

biawak niscaya wanita muslimah pun mengikuti di belakangnya.

Sekalipun lubang biawak tersebut melingkar-lingkar, sempit,

dan pengap, wanita muslimah itu akan tetap merayapinya. Dari

sinilah lahir "solidaritas" baru yang lebih dipopulerkan

dengan istilah "solidaritas lubang biawak."



Mereka melupakan apa yang dikeluhkan wanita Barat sekarang

serta akibat buruk yang ditimbulkan oleh pergaulan bebas

itu, baik terhadap wanita maupun laki-laki, keluarga, dan

masyarakat. Mereka sumbat telinga mereka dari

kritikan-kritikan orang yang menentangnya yang datang silih

berganti dari seluruh penjuru dunia, termasuk dari Barat

sendiri. Mereka tutup telinga mereka dari fatwa para ulama,

pengarang, kaum intelektual, dan para muslihin yang

mengkhawatirkan kerusakan yang ditimbulkan peradaban Barat,

terutama jika semua ikatan dalan pergaulan antara laki-laki

dan perempuan benar-benar terlepas.



Mereka lupa bahwa tiap-tiap umat memiliki kepribadian

sendiri yang dibentuk oleh aqidah dan pandangannya terhadap

alam semesta, kehidupan, tuhan, nilai-nilai agama, warisan

budaya, dan tradisi. Tidak boleh suatu masyarakat melampaui

tatanan suatu masyarakat lain.



Kedua, golongan yang mengharuskan kaum wanita mengikuti

tradisi dan kebudayaan lain, yaitu tradisi Timur, bukan

tradisi Barat. Walaupun dalam banyak hal mereka telah

dicelup oleh pengetahuan agama, tradisi mereka tampak lebih

kokoh daripada agamanya. Termasuk dalam hal wanita, mereka

memandang rendah dan sering berburuk sangka kepada wanita.



Bagaimanapun, pandangan-pandangan diatas bertentangan dengan

pemikiran-pemikiran lain yang mengacu pada Al-Qur'anul Karim

dan petunjuk Nabi saw. serta sikap dan pandangan para

sahabat yang merupakan generasi muslim terbaik.



Ingin saya katakan disini bahwa istilah ikhtilath

(percampuran) dalam lapangan pergaulan antara laki-laki

dengan perempuan merupakan istilah asing yang dimasukkan

dalam "Kamus Islam." Istilah ini tidak dikenal dalam

peradaban kita selama berabad-abad yang silam, dan baru

dikenal pada zaman sekarang ini saja. Tampaknya ini

merupakan terjemahan dari kata asing yang punya konotasi

tidak menyenangkan terhadap perasaan umat Islam. Barangkali

lebih baik bila digunakan istilah liqa' (perjumpaan),

muqabalah (pertemuan), atau musyarakrah (persekutuan)

laki-laki dengan perempuan.



Tetapi bagaimanapun juga, Islam tidak menetapkan hukum

secara umum mengenai masalah ini. Islam justru

memperhatikannya dengan melihat tujuan atau kemaslahatan

yang hendak diwujudkannya, atau bahaya yang

dikhawatirkannya, gambarannya, dan syarat-syarat yang harus

dipenuhinya, atau lainnya.



Sebaik-baik petunjuk dalam masalah ini ialah petunjuk Nabi

Muhammad saw., petunjuk khalifah-khalifahnya yang lurus, dan

sahabat-sahabatnya yang terpimpin.



Orang yang mau memperhatikan petunjuk ini, niscaya ia akan

tahu bahwa kaum wanita tidak pernah dipenjara atau diisolasi

seperti yang terjadi pada zaman kemunduran umat Islam.



Pada zaman Rasulullah saw., kaum wanita biasa menghadiri

shalat berjamaah dan shalat Jum'at. Beliau saw. menganjurkan

wanita untuk mengambil tempat khusus di shaf (baris)

belakang sesudah shaf laki-laki. Bahkan, shaf yang paling

utama bagi wanita adalah shaf yang paling belakang. Mengapa?

Karena, dengan paling belakang, mereka lebih terpelihara

dari kemungkinan melihat aurat laki-laki. Perlu diketahui

bahwa pada zaman itu kebanyakan kaum laki-laki belum

mengenal celana.



Pada zaman Rasulullah saw. (jarak tempat shalat) antara

laki-laki dengan perempuan tidak dibatasi dengan tabir sama

sekali, baik yang berupa dinding, kayu, kain, maupun

lainnya. Pada mulanya kaum laki-laki dan wanita masuk ke

masjid lewat pintu mana saja yang mereka sukai, tetapi

karena suatu saat mereka berdesakan, baik ketika masuk

maupun keluar, maka Nabi saw. bersabda:



"Alangkah baiknya kalau kamu jadikan pintu ini untuk wanita"



Dari sinilah mula-mula diberlakukannya pintu khusus untuk

wanita, dan sampai sekarang pintu itu terkenal dengan

istilah "pintu wanita."



Kaum wanita pada zaman Nabi saw. juga biasa menghadiri

shalat Jum'at, sehingga salah seorang diantara mereka ada

yang hafal surat "Qaf." Hal ini karena seringnya mereka

mendengar dari lisan Rasulullah saw. ketika berkhutbah

Jum'at.



Kaum wanita juga biasa menghadiri shalat Idain (Hari Raya

Idul Fitri dan Idul Adha). Mereka biasa menghadiri hari raya

Islam yang besar ini bersama orang dewasa dan anak-anak,

laki-laki dan perempuan, di tanah lapang dengan bertahlil

dan bertakbir.



Imam Muslim meriwayatkan dari Ummu Athiyah, katanya:



"Kami diperintahkan keluar (untuk menunaikan shalat dan

mendengarkan khutbah) pada dua hari raya, demikian pula

wanita-wanita pingitan dan para gadis."



Dan menurut satu riwayat Ummu Athiyah berkata:



"Rasulullah saw. menyuruh kami mengajak keluar kaum wanita

pada hari raya Fitri dan Adha, yaitu wanita-wanita muda,

wanita-wanita yang sedang haid, dan gadis-gadis pingitan.

Adapun wanita-wanita yang sedang haid, mereka tidak

mengerjakan shalat, melainkan mendengarkan nasihat dan

dakwah bagi umat Islam (khutbah, dan sebagainya). Aku (Ummu

Athiyah) bertanya, 'Ya Rasulullah salah seorang diantara

kami tidak mempunyai jilbab.' Beliau menjawab, 'Hendaklah

temannya meminjamkan jilbab yang dimilikinya.'"1



Ini adalah sunnah yang telah dimatikan umat Islam di semua

negara Islam, kecuali yang belakangan digerakkan oleh

pemuda-pemuda Shahwah Islamiyyah (Kebangkitan Islam). Mereka

menghidupkan sebagian sunnah-sunnah Nabi saw. yang telah

dimatikan orang, seperti sunnah i'tikaf pada sepuluh hari

terakhir bulan Ramadhan dan sunnah kehadiran kaum wanita

pada shalat Id.



Kaum wanita juga menghadiri pengajian-pengajian untuk

mendapatkan ilmu bersama kaum laki-laki di sisi Nabi saw.

Mereka biasa menanyakan beberapa persoalan agama yang

umumnya malu ditanyakan oleh kaum wanita. Aisyah r.a. pernah

memuji wanita-wanita Anshar yang tidak dihalangi oleh rasa

malu untuk memahami agamanya, seperti menanyakan masalah

jinabat, mimpi mengeluarkan sperma, mandi junub, haid,

istihadhah, dan sebagainya.



Tidak hanya sampai disitu hasrat mereka untuk menyaingi kaum

laki-laki dalam menimba-ilmu dari Rasululah saw. Mereka juga

meminta kepada Rasulullah saw. agar menyediakan hari

tertentu untuk mereka, tanpa disertai kaum laki-laki. Hal

ini mereka nyatakan terus terang kepada Rasulullah saw.,

"Wahai Rasulullah, kami dikalahkan kaum laki-laki untuk

bertemu denganmu, karena itu sediakanlah untuk kami hari

tertentu untuk bertemu denganmu." Lalu Rasulullah saw.

menyediakan untuk mereka suatu hari tertentu guna bertemu

dengan mereka, mengajar mereka, dan menyampaikan

perintah-perintah kepada mereka.2



Lebih dari itu kaum wanita juga turut serta dalam perjuangan

bersenjata untuk membantu tentara dan para mujahid, sesuai

dengan kemampuan mereka dan apa yang baik mereka kerjakan,

seperti merawat yang sakit dan terluka, disamping memberikan

pelayanan-pelayanan lain seperti memasak dan menyediakan air

minum. Diriwayatkan dari Ummu Athiyah, ia berkata:



"Saya turut berperang bersama Rasulullah saw. sebanyak tujuh

kali, saya tinggal di tenda-tenda mereka, membuatkan mereka

makanan, mengobati yang terluka, dan merawat yang sakit."3



Imam Muslim juga meriwayatkan dari Anas:



"Bahwa Aisyah dan Ummu Sulaim pada waktu perang Uhud sangat

cekatan membawa qirbah (tempat air) di punggungnya kemudian

menuangkannya ke mulut orang-orang, lalu mengisinya lagi."4



Aisyah r.a. yang waktu itu sedang berusia belasan tahun

menepis anggapan orang-orang yang mengatakan bahwa

keikutsertaan kaum wanita dalam perang itu terbatas bagi

mereka yang telah lanjut usia. Anggapan ini tidak dapat

diterima, dan apa yang dapat diperbuat wanita-wanita yang

telah berusia lanjut dalam situasi dan kondisi yang menuntut

kemampuan fisik dan psikis sekaligus?



Imam Ahmad meriwayatkan bahwa enam orang wanita mukmin turut

serta dengan pasukan yang mengepung Khaibar. Mereka memungut

anak-anak panah, mengadoni tepung, mengobati yang sakit,

mengepang rambut, turut berperang di jalan Allah, dan Nabi

saw memberi mereka bagian dari rampasan perang.



Bahkan terdapat riwayat yang sahih yang menceritakan bahwa

sebagian istri para sahabat ada yang turut serta dalam

peperangan Islam dengan memanggul senjata, ketika ada

kesempatan bagi mereka. Sudah dikenal bagaimana yang

dilakukan Ummu Ammarah Nusaibah binti Ka'ab dalam perang

Uhud, sehingga Nabi saw. bersabda mengenai dia, "Sungguh

kedudukannya lebih baik daripada si Fulan dan si Fulan."



Demikian pula Ummu Sulaim menghunus badik pada waktu perang

Hunain untuk menusuk perut musuh yang mendekat kepadanya.



Imam Muslim meriwayatkan dari Anas, anaknya (anak Ummu

Sulaim) bahwa Ummu Sulaim menghunus badik pada waktu perang

Hunain, maka Anas menyertainya. Kemudian suami Ummu Sulaim

Abu Thalhah, melihatnya lantas berkata, "Wahai Rasulullah,

ini Ummu Sulaim membawa badik." Lalu Rasululah saw. bertanya

kepada Ummu Sulaim, "Untuk apa badik ini? Ia menjawab, "Saya

mengambilnya, apabila ada salah seorang musyrik mendekati

saya akan saya tusuk perutnya dengan badik ini." Kemudian

Rasulullah saw. tertawa.5



Imam Bukhari telah membuat bab tersendiri didalam Shahih-nya

mengenai peperangan yang dilakukan kaum wanita.



Ambisi kaum wanita muslimah pada zaman Nabi saw. untuk turut

perang tidak hanya peperangan dengan negara-negara tetangga

atau yang berdekatan dengan negeri Arab seperti Khaibar dan

Hunain saja tetapi mereka juga ikut melintasi lautan dan

ikut menaklukkan daerah-daerah yang jauh guna menyampaikan

risalah Islam.



Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Anas bahwa

pada suatu hari Rasulullah saw. tidur siang di sisi Ummu

Haram binti Mulhan - bibi Anas - kemudian beliau bangun

seraya tertawa. Lalu Ummu Haram bertanya, "Mengapa engkau

tertawa, wahai Rasulullah?" Beliau bersabda, "Ada beberapa

orang dari umatku yang diperlihatkan kepadaku berperang fi

sabilillah. Mereka menyeberangi lautan seperti raja-raja

naik kendaraan." Ummu Haram berkata, "Wahai Rasulullah,

doakanlah kepada Allah agar Dia menjadikan saya termasuk

diantara mereka." Lalu Rasulullah saw. mendoakannya.6



Dikisahkan bahwa Ummu Haram ikut menyeberangi lautan pada

zaman Utsman bersama suaminya Ubadah bin Shamit ke Qibris.

Kemudian ia jatuh dari kendaraannya (setelah menyeberang)

disana, lalu meninggal dan dikubur di negeri tersebut,

sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli sejarah.7



Dalam kehidupan bermasyarakat kaum wanita juga turut serta

berdakwah: menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari

perbuatan munkar, sebagaimana firman Allah:



"Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan

sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang

lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah

dari yang munkar..." (at-Taubah: 71 )



Diantara peristiwa yang terkenal ialah kisah salah seorang

wanita muslimah pada zaman khalifah Umar bin Khattab yang

mendebat beliau di sebuah masjid. Wanita tersebut menyanggah

pendapat Umar mengenai masalah mahar (mas kawin), kemudian

Umar secara terang-terangan membenarkan pendapatnya, seraya

berkata, "Benar wanita itu, dan Umar keliru." Kisah ini

disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam menafsirkan surat

an-Nisa', dan beliau berkata, "Isnadnya bagus." Pada masa

pemerintahannya, Umar juga telah mengangkat asy-Syifa binti

Abdullah al-Adawiyah sebagai pengawas pasar.



Orang yang mau merenungkan Al-Qur'an dan hadits tentang

wanita dalam berbagai masa dan pada zaman kehidupan para

rasul atau nabi, niscaya ia tidak merasa perlu mengadakan

tabir pembatas yang dipasang oleh sebagian orang antara

laki-laki dengan perempuan.



Kita dapati Musa - ketika masih muda dan gagah perkasa -

bercakap-cakap dengan dua orang gadis putri seorang syekh

yang telah tua (Nabi Syusaib; ed.). Musa bertanya kepada

mereka dan mereka pun menjawabnya dengan tanpa merasa

berdosa atau bersalah, dan dia membantu keduanya dengan

sikap sopan dan menjaga diri. Setelah Musa membantunya,

salah seorang di antara gadis tersebut datang kepada Musa

sebagai utusan ayahnya untuk memanggil Musa agar menemui

ayahnya. Kemudian salah seorang dari kedua gadis itu

mengajukan usul kepada ayahnya agar Musa dijadikan

pembantunya, karena dia seorang yang kuat dan dapat

dipercaya.



Marilah kita baca kisah ini dalam Al-Qur'an:



"Dan tatkala ia (Musa) sampai di sumber air negeri Madyan ia

menjumpai disana sekumpulan orang yang sedang meminumi

(ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu,

dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa

berkata, 'Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu.?)' Kedua

wanita itu menjawab, 'Kami tidak dapat meminumi (ternak

kami), sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan

(ternaknya), sedangkan bapak kami adalah orang tua yang

telah lanjut umurnya.' Maka Musa memberi minum ternak itu

untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat

yang teduh lalu berdoa, 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat

memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.'

Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua

wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata, 'Sesungguhnya

bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap

(kebaikan)-mu memberi minum (ternak)kami.' Maka tatkala Musa

mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya

cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata, 'Janganlah kamu

takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu.'

Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, 'Ya bapakku,

ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena

sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk

bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat

dipercaya.'" (al-Qashash: 23-26)



Mengenai Maryam, kita jumpai Zakaria masuk ke mihrabnya dan

menanyakan kepadanya tentang rezeki yang ada di sisinya:



"... Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia

dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata, 'Hai Maryam,

dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?' Maryam menjawab,

'Makanan itu dari sisi Allah.' Sesungguhnya Allah memberi

rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab."(Ali

Imran: 37)



Lihat pula tentang Ratu Saba, yang mengajak kaumnya

bermusyawarah mengenai masalah Nabi Sulaiman:



"Berkata dia (Bilqis), 'Hai para pembesar, berilah aku

pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah

memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam

majlis-(ku).' Mereka menjawab, 'Kita adalah orang-orang yang

memilih kekuatan dan (juga) memilih keberanian yang sangat

(dalam peperangan), dan keputusan berada di tanganmu; maka

pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan.' Dia

berkata, 'Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu

negeri, niscaya mereka membinasakannya dan menjadikan

penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang

akan mereka perbuat." (an-Naml 32-34)



Berikut ini percakapan antara Bilqis dan Sulaiman:



"Dan ketika Bilqis datang, ditanyakantah kepadanya, 'Serupa

inikah singgasanamu?' Dia menjawab, 'Seakan akan

singgasanamu ini singgasanaku, kami telah diberi pengetahuan

sebelumnya dan kamõ adalah orang-orang yang berserah diri.'

Dan apa yang disembahnya selama ini selain Allah,

mencegahnya (untuk melahirkan keislamannya), karena

sesungguhnya dia dahulunya termasuk orang-orang yang kafir.

Dikatakan kepadanya, 'Masuk1ah ke dalam istana.' Maka

tatka1a ia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air

yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah

Sulaiman, 'Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari

kaca. 'Berkata1ah Bilqis, 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku

telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri

bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta

alam.'"(an-Naml: 42-44)



Kita tidak boleh mengatakan "bahwa syariat (dalam kisah di

atas) adalah syariat yang hanya berlaku pada zaman sebelum

kita (Islam) sehingga kita tidak perlu mengikutinya."

Bagaimanapun, kisah-kisah yang disebutkan dalam Al-Qur'an

tersebut dapat dijadikan petunjuk, peringatan, dan pelajaran

bagi orang-orang berpikiran sehat. Karena itu, perkataan

yang benar mengenai masalah ini ialah "bahwa syariat orang

sebelum kita yang tercantum dalam Al-Qur' an dan As-Sunnah

adalah menjadi syariat bagi kita, selama syariat kita tidak

menghapusnya."



Allah telah berfirman kepada Rasul-Nya:



"Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh

Allah, maka ikutilah petunjuk mereka ..." (al-An'am: 90)



Sesungguhnya menahan wanita dalam rumah dan membiarkannya

terkurung didalamnya dan tidak memperbolehkannya keluar dari

rumah oleh Al-Qur'an - pada salah satu tahap diantara

tahapan-tahapan pembentukan hukum sebelum turunnya nash yang

menetapkan bentuk hukuman pezina sebagaimana yang terkenal

itu - ditentukan bagi wanita muslimah yang melakukan

perzinaan. Hukuman ini dianggap sebagai hukuman yang sangat

berat. Mengenai masalah ini Allah berfirman:



"Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji,

hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang

menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi

persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam

rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai memberi

jalan lain kepadanya." (an-Nisa': 15 )



Setelah itu Allah memberikan jalan bagi mereka ketika Dia

mensyariatkan hukum had, yaitu hukuman tertentu dalam syara'

sebagai hak Allah Ta'ala. Hukuman tersebut berupa hukuman

dera (seratus kali) bagi ghairu muhshan (laki-laki atau

wanita belum kawin) menurut nash Al-Qur'an, dan hukum rajam

bagi yang mahshan (laki-laki atau wanita yang sudah kawin)

sebagaimana disebutkan dalam As-Sunnah.



Jadi, bagaimana mungkin logika Al-Qur'an dan Islam akan

menganggap sebagai tindakan lurus dan tepat jika wanita

muslimah yang taat dan sopan itu harus dikurung dalam rumah

selamanya? Jika kita melakukan hal itu, kita seakan-akan

menjatuhkan hukuman kepadanya selama-lamanya, padahal dia

tidak berbuat dosa.



KESIMPULAN



Dari penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa

pertemuan antara laki-laki dengan perempuan tidak haram,

melainkan jaiz (boleh). Bahkan, hal itu kadang-kadang

dituntut apabila bertujuan untuk kebaikan, seperti dalam

urusan ilmu yang bermanfaat, amal saleh, kebajikan,

perjuangan, atau lain-lain yang memerlukan banyak tenaga,

baik dari laki-laki maupun perempuan.



Namun, kebolehan itu tidak berarti bahwa batas-batas

diantara keduanya menjadi lebur dan ikatan-ikatan syar'iyah

yang baku dilupakan. Kita tidak perlu menganggap diri kita

sebagai malaikat yang suci yang dikhawatirkan melakukan

pelanggaran, dan kita pun tidak perlu memindahkan budaya

Barat kepada kita. Yang harus kita lakukan ialah bekerja

sama dalam kebaikan serta tolong-menolong dalam kebajikan

dan takwa, dalam batas-batas hukum yang telah ditetapkan

oleh Islam. Batas-batas hukum tersebut antara lain:



1. Menahan pandangan dari kedua belah pihak. Artinya, tidak

boleh melihat aurat, tidak boleh memandang dengan syahwat,

tidak berlama-lama memandang tanpa ada keperluan. Allah

berfirman:



"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman,

'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara

kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi

mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang

mereka perbuat.' Katakanlah kepada wanita yang beriman,

'Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara

kemaluannya ..."(an-Nur: 30-31)



2. Pihak wanita harus mengenakan pakaian yang sopan yang

dituntunkan syara', yang menutup seluruh tubuh selain muka

dan telapak tangan. Jangan yang tipis dan jangan dengan

potongan yang menampakkan bentuk tubuh. Allah berfirman:



"... dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali

yang biasa tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka

menutupkan kain kudung ke dadanya ..." (an-Nur: 31 )



Diriwayatkan dari beberapa sahabat bahwa perhiasan yang

biasa tampak ialah muka dan tangan.



Allah berfirman mengenai sebab diperintahkan-Nya berlaku

sopan:



"... Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk

dikenal, karena itu mereka tidak diganggu ..." (al-Ahzab:

59)



Dengan pakaian tersebut, dapat dibedakan antara wanita yang

baik-baik dengan wanita nakal. Terhadap wanita yang

baik-baik, tidak ada laki-laki yang suka mengganggunya,

sebab pakaian dan kesopanannya mengharuskan setiap orang

yang melihatnya untuk menghormatinya.



3. Mematuhi adab-adab wanita muslimah dalam segala hal,

terutama dalam pergaulannya dengan laki-laki:



a. Dalam perkataan, harus menghindari perkataan yang merayu

dan membangkitkan rangsangan. Allah berfirman:



"... Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga

berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan

ucapkanlah perkataan yang baik." (al-Ahzab: 32)



b. Dalam berjalan, jangan memancing pandangan orang. Firman

Allah:



"... Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui

perhiasan yang mereka sembunyikan..." (an-Nur: 31)



Hendaklah mencontoh wanita yang diidentifikasikan oleh Allah

dengan firman-Nya:



"Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua

wanita itu berjalan kemalu-maluan ..." (al-Qashash: 25)



c. Dalam gerak, jangan berjingkrak atau berlenggak-lenggok,

seperti yang disebut dalam hadits:



"(Yaitu) wanita-wanita yang menyimpang dari ketaatan dan

menjadikan hati laki-laki cenderung kepada kerusakan

(kemaksiatan).8 HR Ahmad dan Muslim)



Jangan sampai ber-tabarruj (menampakkan aurat) sebagaimana

yang dilakukan wanita-wanita jahiliah tempo dulu atau pun

jahiliah modern



4. Menjauhkan diri dari bau-bauan yang harum dan warna-warna

perhiasan yang seharusnya dipakai di rumah, bukan di jalan

dan di dalam pertemuan-pertemuan dengan kaum laki-laki.



5. Jangan berduaan (laki-laki dengan perempuan) tanpa

disertai mahram. Banyak hadits sahih yang melarang hal ini

seraya mengatakan, 'Karena yang ketiga adalah setan.'



Jangan berduaan sekalipun dengan kerabat suami atau istri.

Sehubungan dengan ini, terdapat hadits yang berbunyi:



"Jangan kamu masuk ke tempat wanita." Mereka (sahabat)

bertanya, "Bagaimana dengan ipar wanita." Beliau menjawab,

"Ipar wanita itu membahayakan." (HR Bukhari)



Maksudnya, berduaan dengan kerabat suami atau istri dapat

menyebabkan kebinasaan, karena bisa jadi mereka duduk

berlama-lama hingga menimbulkan fitnah.



6. Pertemuan itu sebatas keperluan yang dikehendaki untuk

bekerja sama, tidak berlebih-lebihan yang dapat mengeluarkan

wanita dari naluri kewanitaannya, menimbulkan fitnah, atau

melalaikannya dari kewajiban sucinya mengurus rumah tangga

dan mendidik anak-anak.



Catatan kaki:



1 Shahih Muslim, "Kitab Shalatul Idain," hadits nomor 823.

2 Hadits riwayat Bukhari dalam Shahih-nya, "Kitab al-Ilm."

3 Shahih Muslim, hadits nomor 1812.

4 Shahih Muslim, nomor 1811.

5 Shahih Muslim, nomor 1809.

6 Shahih Muslim, hadits nomor 1912.

7 Lihat Shahih Muslim pada nomor-nomor setelah hadits

di atas. (penj.).

8 Mumiilat dan Maailaat mengandung empat macam pengertian.

Pertama, menyimpang dari menaati Allah dan tidak mau

memenuhi kewajiban-kewajibannya seperti menjaga kehormatan

dan sebagainya, dan mengajari wanita lain supaya berbuat

seperti ite. Kedua, berjalan dengan sombong dan melenggak-

lenggokkan pundaknya (tubuhnya). Ketiga, maailaat, menyisir

rambutnya sedemikian rupa dengan gaya pelacur.

Mumiilaat: menyisir wanita lain seperti sisirannya.

Keempat, cenderung kepada laki-laki dan berusaha menariknya

dengan menampakkan perhiasannya dan sebagainya

(Syarah Muslim, 17: 191 penj.).

adab Pakaian Muslimah

Di dalam Islam ada garis panduan tersendiri mengenai adab Pakaian Muslimah (untuk lelaki dan wanita) yaitu:

1. Menutup aurat
AURAT lelaki menurut ahli hukum ialah daripada pusat hingga ke lutut. Aurat wanita pula ialah seluruh anggota badannya, kecuali wajah, tapak tangan dan tapak kakinya. Rasulullah SAW bersabda bermaksud: “Paha itu adalah aurat.” (Bukhari)

2. Tidak menampakkan tubuh
Pakaian Muslimah yang jarang sehingga menampakkan aurat Wanita Muslim tidak memenuhi syarat menutup aurat. Pakaian jarang bukan saja menampak warna kulit, malah boleh merangsang nafsu orang yang melihatnya.
Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud: “Dua golongan ahli neraka yang belum pernah aku lihat ialah, satu golongan memegang cemeti seperti ekor lembu yang digunakan bagi memukul manusia dan satu golongan lagi wanita yang memakai pakaian tetapi telanjang dan meliuk-liukkan badan juga kepalanya seperti bonggol unta yang tunduk.
Mereka tidak masuk syurga dan tidak dapat mencium baunya walaupun bau syurga itu dapat dicium daripada jarak yang jauh.” (Muslim)3. Pakaian tidak ketat
TUJUANNYA adalah supaya tidak kelihatan bentuk tubuh badan Wanita Muslim

4. Tidak menimbulkan riak
RASULULLAH SAW bersabda bermaksud: “Sesiapa yang melabuhkan pakaiannya kerana perasaan sombong, Allah SWT tidak akan memandangnya pada hari kiamat.” Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda bermaksud: “Sesiapa yang memakai pakaian yang berlebih-lebihan, maka Allah akan memberikan pakaian kehinaan pada hari akhirat nanti.” (Ahmad, Abu Daud, an-Nasa’iy dan Ibnu Majah)

5. Lelaki, wanita berbeza
MAKSUDNYA pakaian yang khusus untuk lelaki tidak boleh dipakai oleh wanita, begitu juga sebaliknya. Rasulullah SAW mengingatkan hal ini dengan tegas menerusi sabdanya yang bermaksud: “Allah mengutuk wanita yang meniru pakaian dan sikap lelaki, dan lelaki yang meniru pakaian dan sikap perempuan.” (Bukhari dan Muslim)
Baginda juga bersabda bermaksud: “Allah melaknat lelaki berpakaian wanita atau Pakaian Murah Muslim dan wanita berpakaian lelaki.” ?(Abu Daud dan Al-Hakim).

6. Larangan pakai sutera
ISLAM mengharamkan kaum lelaki memakai sutera. Rasulullah SAW bersabda bermaksud: “Janganlah kamu memakai sutera, sesungguhnya orang yang memakainya di dunia tidak dapat memakainya di akhirat.” (Muttafaq ‘alaih)

7. Melabuhkan pakaian
CONTOHNYA seperti tudung yang seharusnya dipakai sesuai kehendak syarak Wanita Muslimah yaitu bagi menutupi kepala dan rambut, tengkuk atau leher dan juga dada. Allah berfirman bermaksud: “Wahai Nabi, katakanlah (suruhlah) isteri-isteri dan anak-anak perempuanmu serta Wanita Muslimah beriman, supaya mereka melabuhkan pakaiannya bagi menutup seluruh tubuhnya (semasa mereka keluar); cara yang demikian lebih sesuai untuk mereka dikenal (sebagai perempuan yang baik-baik) maka dengan itu mereka tidak diganggu. Dan (ingatlah) Allah adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” ?(al-Ahzab:59)

8. Memilih warna sesuai
CONTOHNYA warna-warna lembut termasuk putih kerana ia nampak bersih dan warna Pakaian Muslim ini sangat disenangi dan sering menjadi pilihan Rasulullah SAW. Baginda bersabda bermaksud: “Pakailah Pakaian Muslim Putih kerana ia lebih baik, dan kafankan mayat kamu dengannya (kain putih).” (an-Nasa’ie dan al-Hakim)

Untuk informasi lebih lanjut, silahkan lihat di Pakaian Muslimah | Pakaian Murah | Muslimah Murah | Wanita Muslimah | Pakaian Muslim | Wanita Muslim dan Pakaian Muslimah Murah &Pakaian Muslimah : Wanita Muslimah&Pakaian Muslim Jawa Timur di 88db.com

PAKAIAN WANITA DALAM ISLAM

PAKAIAN WANITA DALAM ISLAM

Al-Quran paling tidak menggunakan tiga istilah untuk pakaian

yaitu, libas, tsiyab, dan sarabil. Kata libas ditemukan

sebanyak sepuluh kali, tsiyab ditemukan sebanyak delapan kali,

sedangkan sarabil ditemukan sebanyak tiga kali dalam dua ayat.



Libas pada mulanya berarti penutup --apa pun yang ditutup.

Fungsi pakaian sebagai penutup amat jelas. Tetapi, perlu

dicatat bahwa ini tidak harus berarti "menutup aurat", karena

cincin yang menutup sebagian jari juga disebut libas, dan

pemakainya ditunjuk dengan menggunakan akar katanya.



Ketika berbicara tentang laut, Al-Quran surat Al-Nahl (16): 14

menyatakan bahwa,



Dan kamu mengeluarkan dan laut itu perhiasan (antara

lain mutiara) yang kamu pakai.



Kata libas digunakan oleh Al-Quran untuk menunjukkan pakaian

lahir maupun batin, sedangkan kata tsiyab digunakan untuk

menunjukkan pakaian lahir. Kata ini terambil dari kata tsaub

yang berarti kembali, yakni kembalinya sesuatu pada keadaan

semula, atau pada keadaan yang seharusnya sesuai dengan ide

pertamanya.



Ungkapan yang menyatakan, bahwa "awalnya adalah ide dan

akhirnya adalah kenyataan", mungkin dapat membantu memahami

pengertian kebahasaan tersebut. Ungkapan ini berarti kenyataan

harus dikembalikan kepada ide asal, karena kenyataan adalah

cerminan dari ide asal.



Apakah ide dasar tentang pakaian?



Ar-Raghib Al-Isfahani --seorang pakar bahasa Al-Quran--

menyatakan bahwa pakaian dinamai tsiyab atau tsaub, karena ide

dasar adanya bahan-bahan pakaian adalah agar dipakai. Jika

bahan-bahan tersebut setelah dipintal kemudian menjadi

pakaian, maka pada hakikatnya ia telah kembali pada ide dasar

keberadaannya. Hemat penulis, ide dasar juga dapat

dikembalikan pada apa yang terdapat dalam benak manusia

pertama tentang dirinya.



Al-Quran surat Al-'Araf (7): 20 menjelaskan peristiwa ketika

Adam dan Hawa berada di surga:



Setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk

menampakkan pada keduanya apa yang tertutup dari

mereka, yaitu auratnya, dan setan berkata, "Tuhan kamu

melarang kamu mendekati pohon ini, supaya kamu berdua

tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang

yang kekal (di surga)."



Selanjutnya dijelaskan dalam ayat 22 bahwa:



...setelah mereka merasakan (buah) pohon (terlarang)

itu tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan

mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga...



Terlihat jelas bahwa ide dasar yang terdapat dalam diri

manusia adalah "tertutupnya aurat", namun karena godaan setan,

aurat manusia terbuka. Dengan demikian, aurat yang ditutup

dengan pakaian akan dikembalikan pada ide dasarnya. Wajarlah

jika pakaian dinamai tsaub/tsiyab yang berarti "sesuatu yang

mengembalikan aurat kepada ide dasarnya", yaitu tertutup.



Dan ayat di atas juga tampak bahwa ide "membuka aurat" adalah

ide setan, dan karenanya "tanda-tanda kehadiran setan adalah

"keterbukaan aurat". Sebuah riwayat yang dikemukakan oleh

Al-Biqa'i dalam bukunya Shubhat Waraqah menyatakan bahwa

ketika Nabi Saw. belum memperoleh keyakinan tentang apa yang

dialaminya di Gua Hira --apakah dari malaikat atau dari

setan-- beliau menyampaikan hal tersebut kepada istrinya

Khadijah. Khadijah berkata, "Jika engkau melihatnya lagi,

beritahulah aku". Ketika di saat lain Nabi Saw. melihat

(malaikat) yang dilihatnya di Gua Hira, Khadijah membuka

pakaiannya sambi1 bertanya, "Sekarang, apakah engkau masih

melihatnya?" Nabi Saw. menjawab, "Tidak, ... dia pergi."

Khadijah dengan penuh keyakinan berkata, "Yakinlah yang datang

bukan setan, ... (karena hanya setan yang senang melihat

aurat)".



Dalam hal ini Al-Quran mengingatkan:



Wahai putra-putra Adam, janganlah sekali-kali kamu

dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia (telah menipu

orang tuamu Adam dan Hawa) sehingga ia telah

mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga. Ia

menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan

kepada keduanya aurat mereka berdua (QS Al-A'raf [7]:

27).



Kata ketiga yang digunakan Al-Quran untuk menjelaskan perihal

pakaian adalah sarabil. Kamus-kamus bahasa mengartikan kata

ini sebagai pakaian, apa pun jenis bahannya. Hanya dua ayat

yang menggunakan kata tersebut. Satu di antaranya diartikan

sebagai pakaian yang berfungsi menangkal sengatan panas,

dingin, dan bahaya dalam peperangan (QS Al-Nahl [16]: 81).

Satu lagi dalam surat Ibrahim (14): 50 tentang siksa yang akan

dialami oleh orang-orang berdosa kelak di hari kemudian:

pakaian mereka dari pelangkin. Dari sini terpahami bahwa

pakaian ada yang menjadi alat penyiksa. Tentu saja siksaan

tersebut karena yang bersangkutan tidak menyesuaikan diri

dengan nilai-nilai yang diamanatkan oleh Allah Swt.



PAKAIAN DAN FITRAH



Dari ayat yang menguraikan peristiwa terbukanya aurat Adam,

dan ayat-ayat sesudahnya, para ulama menyimpulkan bahwa pada

hakikatnya menutup aurat adalah fitrah manusia jrang

diaktualkan pada saat ia memiliki kesadaran.



Seperti dikemukakan ketika menjelaskan arti tsaub, manusia

pada mulanya tertutup auratnya. Ayat yang menguraikan hal ini

menggunakan istilah li yubdiya lahuma ma~ wuriya 'anhuma min

sauatihima (untuk menampakkan kepada keduanya apa yang

tertutup dari mereka, yaitu auratnya) (QS Al-A'raf [7]: 20).



Penggalan ayat itu bukan saja mengisyaratkan bahwa sejak

semula Adam dan Hawa tidak dapat saling melihat aurat mereka,

melainkan juga berarti bahwa aurat masing-masing tertutup

sehingga mereka sendiri pun tidak dapat melihatnya.



Kemudian setan merayu mereka agar memakan pohon terlarang, dan

akibatnya adalah aurat yang tadinya tertutup menjadi terbuka,

dan mereka menyadari keterbukaannya, sehingga mereka berusaha

menutupinya dengan daun-daun surga. Usaha tersebut menunjukkan

adanya naluri pada diri manusia sejak awal kejadiannya bahwa

aurat harus ditutup dengan cara berpakaian.



Perlu diperhatikan pula kalimat yang dipergunakan Al-Quran

untuk menyatakan usaha kedua orang tua kita, "Wa thafiqa

yakhshifan 'alaihima min waraq al-jannah."



Kata yakhshifan terambil dari kata khashf yang berarti

menempelkan sesuatu pada sesuatu yang lain agar menjadi lebih

kokoh. Contoh yang dikemukakan oleh pakar-pakar bahasa adalah

menempelkkan lapisan baru pada lapisan yang ada dari alas

kaki, agar lebih kuat dan kokoh.



Adam dan Hawa bukan sekadar mengambil satu lembar daun untuk

menutup auratnya (karena jika demikian pakaiannya adalah

mini), melainkan sekian banyak lembar agar melebar, dengan

cara menempelkan selembar daun di atas lembar lain, sebagai

tanda bahwa pakaian tersebut sedemikian tebal, sehingga tidak

transparan atau tembus pandang.



Hal lain yang mengisyaratkan bahwa berpakaian atau menutup

aurat merupakan fitrah manusia adalah penggunaan istilah "Ya

Bani Adam" (Wahai putra-putri Adam) dalam ayat-ayat yang

berbicara tentang berpakaian.



Panggilan semacam ini hanya terulang empat kali dalam

Al-Quran. Kesan dan makna yang disampaikannya berbeda dengan

panggilan ya ayyuhal ladzina amanu yang hanya khusus kepada

orang-orang mukmin, atau ya ayyuhan nas yang boleh jadi hanya

ditujukan kepada seluruh manusia sejak masa Nabi Saw. hingga

akhir zaman. Panggilan ya Bani Adam jelas tertuju kepada

seluruh manusia. Bukankah Adam adalah ayah seluruh manusia?



Hanya empat kali panggilan ya Bani Adam dalam Al-Quran, dan

semuanya terdapat dalam surat Al-'Araf, yaitu:



1. Ayat 26 berbicara tentang macam-macam pakaian yang

dianugerahkan Allah.



2. Ayat 27 berbicara tentang larangan mengikuti setan

yang menyebabkan terbukanya aurat orang tua manusia

(Adam dan Hawa).



3. Ayat 31 memerintahkan memakai pakaian indah pada

saat memasuki masjid.



4. Ayat 35 adalah kewajiban taat kepada tuntunan Allah

yang disampaikan oleh para rasul-Nya (tentu termasuk

tuntunan berpakaian).



Ini menunjukkan bahwa sejak dini Allah Swt. telah mengilhami

manusia sehingga timbul dalam dirinya dorongan untuk

berpakaian, bahkan kebutuhan untuk berpakaian, sebagaimana

diisyaratkan oleh surat Thaha (20): 117-118, yang mengingatkan

Adam bahwa jika ia terusir dari surga karena setan, tentu ia

akan bersusah payah di dunia untuk mencari sandang, pangan,

dan papan. Dorongan tersebut diciptakan Allah dalam naluri

manusia yang memiliki kesadaran kemanusiaan. Itu sebabnya

terlihat bahwa manusia primitif pun selalu menutupi apa yang

dinilainya sebagai aurat.



Dari ayat yang berbicara tentang ketertutupan aurat, ditemukan

isyarat bahwa untuk merealisasikan hal tersebut, manusia tidak

membutuhkan upaya dan tenaga yang berat. Hal ini diisyaratkan

oleh bentuk pasif yang dipilih Al-Quran untuk menyebut

tertutupnya aurat Adam dan Hawa, yakni ayat 22 surat Al-A'raf

yang dikutip pada awal uraian ini: "yang tertutup dan mereka

yaitu aurat mereka."



Menutup aurat tidak sulit, karena dapat dilakukan dengan bahan

apa pun yang tersedia, sekalipun selembar daun (asalkan dapat

menutupinya).



FUNGSI PAKAIAN



Dari sekian banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang

pakaian, dapat ditemukan paling tidak ada empat fungsi

pakaian.



Al-Quran surat Al-A'raf (7): 26 menjelaskan dua fungsi

pakaian:



Wahai putra putri Adam, sesungguhnya Kami telah

menurunkan kepada kamu pakaian yang menutup auratmu dan

juga (pakaian) bulu (untuk menjadi perhiasan), dan

pakaian takwa itulah yang paling baik.



Ayat ini setidaknya menjelaskan dua fungsi pakaian, yaitu

penutup aurat dan perhiasan.



Sebagian ulama bahkan menyatakan bahwa ayat di atas berbicara

tentang fungsi ketiga pakaian, yaitu fungsi takwa, dalam arti

pakaian dapat menghindarkan seseorang terjerumus ke dalam

bencana dan kesulitan, baik bencana duniawi maupun ukhrawi.



Syaikh Muhammad Thahir bin 'Asyur menjelaskan jalan pikiran

ulama yang berpendapat demikian. Ia menulis dalam tafsirnya

tentang ayat tersebut:



Libasut taqwa dibaca oleh Imam Nafi' ibnu Amir,

Al-Kisa'i, dan Abu Ja'far dengan nashab (dibaca libasa

sehingga kedudukannya sebagai objek penderita). Ini

berarti sama dengan pakaian-pakaian lain yang

diciptakan, dan tentunya pakaian ini tidak berbentuk

abstrak, melainkan nyata. Takwa yang dimaksud di sini

adalah pemeliharaan, sehingga yang dimaksud dengannya

adalah pakaian berupa perisai yang digunakan dalam

peperangan untuk memelihara dan menghindarkan

pemakainya dari luka dan bencana lain.



Ada juga yang membaca libasu at-taqwa, sehingga kata tersebut

tidak berkedudukan sebagai objek penderita. Ketika itu, salah

satu makna yang dikandungnya adalah adanya pakaian batin yang

dapat menghindarkan seseorang dari bencana duniawi dan

ukhrawi.



Betapapun, ditemukan ayat lain yang menjelaskan fungsi ketiga

pakaian, yakni fungsi pemeliharaan terhadap bencana, dan dari

sengatan panas dan dingin,



Dia (Allah) menjadikan untuk kamu pakaian yang

memelihara kamu dari sengatan panas (dan dingin), serta

pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam

peperangan... (QS Al-Nahl [16]: 81).

Pengertian Hidup menurut Al Qur'an

Masa hidup manusia terbagi dua (QS 40/11), hidup pertama adalah di dunia kini dan hidup kedua berlaku di akhirat. Kedua macam hidup berlaku dalam keadaan konkrit.

Berbagai macam ajaran mengenai hakekat hidup dan tujuan hidup telah berkembang. Masing-masing berbeda tentang pengertian dan tujuan hidup. Hanya Al Qur’an lah yang dapat menjelaskan arti dan tujuan hidup manusia secukupnya sehingga dapat dipahami oleh setiap individu yang membutuhkannya.

Orang atheis mendasarkan doktrinnya atas teori naturalism tidak dapat memberikan alasan kenapa adanya hidup kini, kecuali sebagai kelanjutan dari hukum evolusi pada setiap benda yang sejak dulu telah mengalami perubahan alamiah. Sementara mereka berbantahan pula mengenai hukum evolusi itu sendiri disebabkan banyaknya benturan (dead lock) dalam analysa dan teorinya.

Benturan itu mereka namakan Missing Link. Untuk tujuan hidup mereka juga tidak mempunyai arah dan alasan yang tepat. Tetapi mereka semua sama berpendapat bahwa yang ada kini akan musnah dengan sendirinya di ujung zaman sesuai dengan menusut dan habisnya alat kebutuhan hidup dan disebabkan terganggunggunya stabilitas susunan bintang di alam semesta.

Mereka berkesimpulan bahwa hidup kini dimulai dari kekosongan, telah terwujud secara alamiah, dan sedang menuju ke arah kekosongan alam semesta dimana setiap individu hilang berlalu tanpa bekas dan tidak akan hidup kembali.
Dalam hal ini mereka melupakan unsur Roh yang ada pada setiap individu.

Pihakyang menganut paham Plurality atau Trinity, walaupun tidak membenarkan teori evolusi , malah mengakui manusia ini memulai hidupnya dari satu diri yang sengaja diciptakan Tuhan, tetapi mereka tdak dapat memberikan alasan tentang maksud apa yang terkandung dalam perencanaan penciptaan itu. Sebagai tujuan hidup, mereka sama sependapat bahwa nanti akan berlaku kehidupan balasan sesudah mati, tetapi dalam kedaan gaib bukan konkrit, dimana setiap pribadi baik akan menerima kebahagiaan jiwa dan pribadi jahat akan merana.

Pihak pertama di atas tadi bertntangan dengan dengan ajaran Al Qur’an mengenai asal hidup dan juga bertentangan mengenai tujuan hidup, sedangkan pihak kedua bersamaan dengan ajaran Al Qur’an mengenai asal usul hidup juga bersamaan tentang tujuan hidup tetapi berbeda dalam hal ghaib dan konkrit. Sebaliknya kedua pihak (Islam dan Plurality/Trinity) sependapat tentang arti hidup yang tidak lain hanyalah berjuang untuk kebutuhan dan kelanjutan generasi, tetapi mereka (Plurality/Trinity) melupakan bahwa pendapat demikian akan berujung dengan pemusnahan generasi mendatang karena setiap individu lebih mementingkan keadaan sekarang tanpa ancaman resiko konkrit yang akan dihadapi di akhirat nanti.

Al Qur’an yang menjadi dasar ajaran hidup dalam Islam, memberikan alasan dan keterangan secukupnya mengenai sebab, arti dan tujuan hidup manusia.

A. Sebab adanya hidup
Semesta raya ini dulunya dari kekosongan total, tidak satupun yang ada kecuali Allah yang ESA yang senantiasa dalam keadaan ghaib. DIA mempunyai maksud agar berlaku penyembahan terhadapNYA yang tentu harus dilaksanakan oleh makhluk yang memiliki logika Maka perlulah diciptakan jin dan manusia yang akan menjalani ujian dimana dapat ditentukan berlakunya pengabdian dimaksud. Kedua macam makhluk ini membutuhkan tempat hidup dimana segala kebutuhan dalam pengujian tersedia secara alamiah atau ilmiah, maka diciptakanlah benda angkasa berbagai bentuk, masa dan fungsi. Semuanya terlaksana secara logis menurut rencana tepat, dan tiba masanya dimulai penciptaan Jin dan Manusia, masing-masing berbeda di segi abstrak dan konkrit.

Allah itu Pencipta tiap sesuatu dan DIA menjaga tiap sesuatu itu. (QS 39/62)

DIA pelaksana bagi apa yang DIA inginkan. (QS 85/16)

Dan tidaklah AKU ciptakan jin dan manusia itu kecuali untuk menyembah AKU (di akhirat utamanya). QS 51/96.

B. Arti Hidup KINI
Al Qur’an memberikan ajaran tentang arti hidup bahwa hendaklah menghubungkan dirinya secara langsung kepada Allah dengan cara melaksanakan hukum-hukum tertulis dalam al quran, dan menghubungkan dirinya pada masyarakat sesamanya dalam melaksanakan tugas amar makhruf nahi munkar.

DIAlah yang menciptakan kematian dan kehidupan agar DIA menguji kamu yang mana diantara kamu yang lebih baik perbuatannya, dan DIA Mulia dan Pengampun. (QS 67/2)

Bahwa Kami menunjukkan garis hukum padanya (manusia itu), terserah padanya untuk bersyukur atau kafir. (QS 76/3)

C. Tujuan hidup
Al Qur’an menjelaskan bahwa kehidupan kini bukanlah akan berlalu tanpa akibat tetapi berlangsung dengan catatan atas semua gerak zahir dan batin yang menentukan nilai setiap indivisu untuk kehidupan konkrit nantinya di alam akhirat, dimana kehidupan terpisah antara yang beriman dan yang kafir untuk selamanya.

Dan berlombalah kepada keampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya sama dengan luas planet-planet dan Bumi ini, dijanjikan untuk para muttaqien. (QS 3/133)

Sungguh kami ciptakan manusia itu pada perwujudan yang lebih baik. Kemudian kami tempatkan dia kepada kerendahan yang lebih rendah. Kecuali orang-orang beriman dan beramal shaleh, maka untuk mereka upah yang terhingga. QS 95/4-6)

Dengan keterangan singkat ini, jelaslah bahwa Al Qur’an bukan saja menjelaskan kenapa adanya hidup kini, tetapi juga memberikan arti hidup serta tujuannya yang harus dicapai oleh setiap diri.

Keterangan Al Qur’an seperti demikian dapat diterima akal sehat dan memang hanyalah kitab suci itulah yang mungkin memberikan penjelasan demikian.

Setetes Cicipan Syurga

Setetes Cicipan Syurga

Alkisah…di Kufah ada seorang pemuda tampan, serta sangat rajin beribadah, wajahnya selalu penuh dengan linangan air mata, karena begitu takutnya dengan Allah, dan begitu gembiranya atas segala karunia Allah. Suatu hari, karena ada suatu keperluan, pemuda tersebut berkunjung ke kampung dari Bani An-Nakha’, lisannya tidak pernah berhenti dari zikir, selalu mengagungkan nama Allah, derap langkahnya bijaksana, setiap ada orang dia sapa dengan ramah, di saat sedang berjalan, pemuda itu bertemu dengan seorang wanita dengan kecantikan seindah bidadari surga, jilbab yang lebar, wajah yang rupawan, derap langkah yang mempesona, sungguh menjadi pesona tiap pemuda yang merindukan istri yang shalehah, di saat mata mereka saling menatap, ada sebuah gejolak rasa yang aneh melintas di dalam dada, perasaan aneh yang semakin bergelora, semakin lama semakin menyiksa, dan akhirnya berpuncak pada suatu kesadaran kepada keduanya, Astagfirullah, rupanya syaitan sudah mulai menancapkan godaan sesatnya, keduanya menunduk, mengalihkan pandangan demi menjaga kemuliaan.

Malamnya sungguh menjadi malam yang sangat menyiksa bagi sang pemuda, entah kenapa shalat malamnya menjadi terganggu, setiap dia mengangkat takbir, maka bayangan wanita tersebut kembali muncul, merasuki pikirannya, menghantui jiwanya, air mata pemuda semakin deras, ketika dia kehilangan kekhusukan shalatnya, setelah sekian lama berkecamuk, mencoba melawan bayangan si wanita, pemuda itu jatuh, tersungkur, dan akhirnya pingsan, dengan lelehan air mata yang terus mengalir.

Sedangkan di tempat yang berlainan, sapu tangan wanita basah kuyup akibat menahan air matanya, dia tidak bisa menahan kerinduan yang berkecamuk di dalam dada, setiap cerita dan pendapat dari orang-orang yang mengenal tentang keshalehan dan kemuliaan akhlak sang pemuda sudah membuatnya cukup untuk merasakan cinta, apalagi ketampanan pemuda yang bisa di kategorikan nabi yusuf zaman sekarang semakin membuatnya menggila, rasa rindu semakin menyiksanya.

Di saat batin sudah menjerit, hati tidak bisa menahan, dan kerinduan tidak terbantahkan, berangkatlah sang pemuda untuk menemui sang ayah wanita yang menarik hatinya, dengan tujuan melamar untuk memuliakan wanita, dan untuk menjaga pandangannya serta menyempurnakan separuh agama, tetapi jawaban sang ayah wanita, seperti guntur yang menggelora, siap mencabik siapa saja yang dekat dengannya, apalah daya, jika si wanita, telah di jodohkan dengan sepupunya, pemuda pulang dengan tangan hampa, hanya iman di dalam dada, yang bisa membuatnya sekuat baja, meskipun tangan seakan menggenggam bara, tetapi baginya, cobaan adalah bentuk dari kasih sayangNya.

Walau demikian, ternyata cinta di antara keduanya benar-benar semakin bergelora, akhirnya sang wanita mengirim surat dengan bantuan seseorang kepada sang pemuda, begitu tahu surat tersebut dari pujaan hatinya, sang pemuda gembira seakan memiliki dunia, di genggamnya surat tersebut, lalu di bacanya dengan perlahan.

“Aku telah tahu betapa besar cintamu kepadaku, dan betapa besar pula aku diuji dengan kamu. Bila kamu setuju, aku akan mengunjungimu atau aku akan mempermudah jalan bagimu untuk datang menemuiku di rumahku”.

Batin pemuda semakin tersiksa, dia mempunyai dua pilihan, antara bersenang-senang dengan wanita yang di cintainya meskipun mendapat laknat Allah, atau menolak permintaan pujaan hatinya demi menjaga kemuliaan dirinya, pesona positif dan negatif di dalam dirinya, bertarung sengit, tapi dia yakin, bahwa Allah akan melaknatnya dengan hina, jikalau dia menerima ajakan si wanita, lalu pemuda membalas suratnya.

“Aku tidak setuju dengan dua alternatif itu, “sesungguhnya aku merasa takut bila aku berbuat maksiat pada Rabbku akan adzab yang akan menimpaku pada hari yang besar.” (Yunus:15) ,Aku takut pada api yang tidak pernah mengecil nyalanya dan tidak pernah padam kobarannya.”

Setelah membaca surat dari pemuda, luluhlah hati sang wanita, dia menyadari bahwa syaitan sudah menguasai dirinya, si wanita berkata “Walau demikian, rupanya dia masih takut kepada Allah? Demi Allah, tak ada seseorang yang lebih berhak untuk bertaqwa kepada Allah dari orang lain. Semua hamba sama-sama berhak untuk itu.” Dia tebus kesalahannya dengan meningkatkan ketakwaannya, dia jauhi urusan dunia, akan tetapi, dia masih memendam rindunya kepada pemuda, tubuhnya mulai semakin kurus dan kurus menahan rindunya, sampai akhirnya, sang wanita menutup mata untuk selama-lamanya, meninggalkan dunia yang fana. Sang pemuda sering datang menziarahi kuburnya, dia menangis dan mendoakan kebaikan bagi wanita yang di cintainya, suatu hari sang pemuda tertidur di atas kuburannya, dia bermimpi bertemu sang wanita yang dicintainya dalam penampilan yang sangat baik, dalam mimpi, sang pemuda bertanya kepada wanita, “Bagaimana keadaanmu? Dan apa yang kamu dapatkan setelah meninggal?”

Sang wanita menjawab “Sebaik-baik cinta wahai orang yang bertanya, adalah cintamu. Sebuah cinta yang dapat mengiring menuju kebaikan.”

Pemuda itu bertanya, “Jika demikian, kemanakah kau menuju?” Dia jawab, “Aku sekarang menuju pada kenikmatan dan kehidupan yang tak berakhir. Di Surga kekekalan yang dapat kumiliki dan tidak akan pernah rusak.”

Pemuda itu berkata, “Aku harap kau selalu ingat padaku di sana, sebab aku di sini juga tidak melupakanmu.” Dia jawab, “Demi Allah, aku juga tidak melupakanmu. Dan aku meminta kepada Tuhanku dan Tuhanmu (Allah Subhanahuwataala) agar kita nanti bisa dikumpulkan. Maka, bantulah aku dalam hal ini dengan kesungguhanmu dalam ibadah.”

Si pemuda bertanya, “Kapan aku bisa melihatmu?” Jawab si wanita: “Tak lama lagi kau akan datang melihat kami.” Tujuh hari setelah mimpi itu berlalu, si pemuda dipanggil oleh Allah menuju kehadiratNya, meninggal dunia.

Begitu indahnya, jikalau cinta, menjadikan seseorang dalam ketaatan, begitu indahnya, jikalau cinta, bersatu dalam ikatan, dan kembali bertemu dalam surgaNya, kekal selama-lamanya dalam kebahagiaan, oh cinta, begitu suci dan mulianya, sebuah cinta yang terjalin dalam ketaatan.

Ketika kita membaca perkataan dari sang wanita “Sebaik-baik cinta wahai orang yang bertanya, adalah cintamu. Sebuah cinta yang dapat mengiring menuju kebaikan.” Betapa mulianya jikalau cinta sebagus itu, tapi ketika melihat fenomena di depan mata, sungguh kesucian cinta begitu ternoda, kesucian cinta telah ternoda dengan aktifitas zina, “pacaran” merajalela, dan menjadi menu wajib bagi para kawula muda, andai mereka sadar, betapa terbahak-bahaknya syaitan melihat kelakuan mereka, jikalau cinta bisa di dapatkan melalui “pacaran”, maka siap-siaplah mereka menderita, siap-siaplah mereka tertipu. Ketahuilah saudaraku, tidak ada yang namanya cinta dalam aktifitas pacaran, semuanya embel-embel zina yang di kemas syaitan menjadi perilaku yang menyenangkan, yang namanya zina, itu tidak hanya pada bagian antara pusar sampai lutut, semua anggota tubuh bisa jadi terdakwa, zina mata karena melihat, zina kata-kata karena rayuan gombal, zina hati karena berangan-angan, dan sebagainya, saudaraku, tundukkanlah pandanganmu demi kemulian, jangan biarkan kulitmu di tembus oleh besi dari neraka karena bersentuhan dengan yang bukan mahram, cukuplah Allah sebagai penolongmu dan tempat berserah diri.

Kita lihat, orang pacaran paling alim pegangan tangan, begitu mudahnya cinta di ungkapkan, aku mencintaimu, tetapi dia mengajak pasangannya ke dalam kemaksiatan, apakah seperti itu yang di katakan cinta, bahkan banyak para muslimah yang dulunya penuh ketaatan, tetapi berubah drastis karena aktifitas pacaran, tidak sedikit teman-teman muslimah yang saya kenal terperangkap oleh belenggu seperti itu, meskipun dia memakai kerudung, sering belajar agama, tetapi karena aktifitas pacaran, semuanya menjadi kabur, mereka senang-senang saja saat tangan sang pemuda menyentuh tubuhnya, menyentuh kulitnya, masya Allah, mudah-mudahan kita semakin istiqomah di jalan ketaatan, dan bagi saudara-saudariku yang sedang melakukan hal itu, semoga Allah melembutkan hatimu, menyadarkanmu dari belenggu syaitan.

Sebaik-baik cinta adalah cinta yang di balut dalam ikatan suci pernikahan, saudaraku, bila engkau mencintai seseorang, bingkailah dirimu dan dirinya dengan tali yang di rahmatiNya, sambutlah dirimu dan dirinya dengan keindahan cinta di atas cinta, mohonlah kemantapan untuk membingkai cintamu dalam ikatan suci pernikahan. (http://myhoney.isgreat.org/2010/05/setetes-cicipan-syurga)

Wallahu ‘alam