Jumat, 25 Februari 2011

PAKAIAN WANITA DALAM ISLAM

PAKAIAN WANITA DALAM ISLAM

Al-Quran paling tidak menggunakan tiga istilah untuk pakaian

yaitu, libas, tsiyab, dan sarabil. Kata libas ditemukan

sebanyak sepuluh kali, tsiyab ditemukan sebanyak delapan kali,

sedangkan sarabil ditemukan sebanyak tiga kali dalam dua ayat.



Libas pada mulanya berarti penutup --apa pun yang ditutup.

Fungsi pakaian sebagai penutup amat jelas. Tetapi, perlu

dicatat bahwa ini tidak harus berarti "menutup aurat", karena

cincin yang menutup sebagian jari juga disebut libas, dan

pemakainya ditunjuk dengan menggunakan akar katanya.



Ketika berbicara tentang laut, Al-Quran surat Al-Nahl (16): 14

menyatakan bahwa,



Dan kamu mengeluarkan dan laut itu perhiasan (antara

lain mutiara) yang kamu pakai.



Kata libas digunakan oleh Al-Quran untuk menunjukkan pakaian

lahir maupun batin, sedangkan kata tsiyab digunakan untuk

menunjukkan pakaian lahir. Kata ini terambil dari kata tsaub

yang berarti kembali, yakni kembalinya sesuatu pada keadaan

semula, atau pada keadaan yang seharusnya sesuai dengan ide

pertamanya.



Ungkapan yang menyatakan, bahwa "awalnya adalah ide dan

akhirnya adalah kenyataan", mungkin dapat membantu memahami

pengertian kebahasaan tersebut. Ungkapan ini berarti kenyataan

harus dikembalikan kepada ide asal, karena kenyataan adalah

cerminan dari ide asal.



Apakah ide dasar tentang pakaian?



Ar-Raghib Al-Isfahani --seorang pakar bahasa Al-Quran--

menyatakan bahwa pakaian dinamai tsiyab atau tsaub, karena ide

dasar adanya bahan-bahan pakaian adalah agar dipakai. Jika

bahan-bahan tersebut setelah dipintal kemudian menjadi

pakaian, maka pada hakikatnya ia telah kembali pada ide dasar

keberadaannya. Hemat penulis, ide dasar juga dapat

dikembalikan pada apa yang terdapat dalam benak manusia

pertama tentang dirinya.



Al-Quran surat Al-'Araf (7): 20 menjelaskan peristiwa ketika

Adam dan Hawa berada di surga:



Setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk

menampakkan pada keduanya apa yang tertutup dari

mereka, yaitu auratnya, dan setan berkata, "Tuhan kamu

melarang kamu mendekati pohon ini, supaya kamu berdua

tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang

yang kekal (di surga)."



Selanjutnya dijelaskan dalam ayat 22 bahwa:



...setelah mereka merasakan (buah) pohon (terlarang)

itu tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan

mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga...



Terlihat jelas bahwa ide dasar yang terdapat dalam diri

manusia adalah "tertutupnya aurat", namun karena godaan setan,

aurat manusia terbuka. Dengan demikian, aurat yang ditutup

dengan pakaian akan dikembalikan pada ide dasarnya. Wajarlah

jika pakaian dinamai tsaub/tsiyab yang berarti "sesuatu yang

mengembalikan aurat kepada ide dasarnya", yaitu tertutup.



Dan ayat di atas juga tampak bahwa ide "membuka aurat" adalah

ide setan, dan karenanya "tanda-tanda kehadiran setan adalah

"keterbukaan aurat". Sebuah riwayat yang dikemukakan oleh

Al-Biqa'i dalam bukunya Shubhat Waraqah menyatakan bahwa

ketika Nabi Saw. belum memperoleh keyakinan tentang apa yang

dialaminya di Gua Hira --apakah dari malaikat atau dari

setan-- beliau menyampaikan hal tersebut kepada istrinya

Khadijah. Khadijah berkata, "Jika engkau melihatnya lagi,

beritahulah aku". Ketika di saat lain Nabi Saw. melihat

(malaikat) yang dilihatnya di Gua Hira, Khadijah membuka

pakaiannya sambi1 bertanya, "Sekarang, apakah engkau masih

melihatnya?" Nabi Saw. menjawab, "Tidak, ... dia pergi."

Khadijah dengan penuh keyakinan berkata, "Yakinlah yang datang

bukan setan, ... (karena hanya setan yang senang melihat

aurat)".



Dalam hal ini Al-Quran mengingatkan:



Wahai putra-putra Adam, janganlah sekali-kali kamu

dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia (telah menipu

orang tuamu Adam dan Hawa) sehingga ia telah

mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga. Ia

menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan

kepada keduanya aurat mereka berdua (QS Al-A'raf [7]:

27).



Kata ketiga yang digunakan Al-Quran untuk menjelaskan perihal

pakaian adalah sarabil. Kamus-kamus bahasa mengartikan kata

ini sebagai pakaian, apa pun jenis bahannya. Hanya dua ayat

yang menggunakan kata tersebut. Satu di antaranya diartikan

sebagai pakaian yang berfungsi menangkal sengatan panas,

dingin, dan bahaya dalam peperangan (QS Al-Nahl [16]: 81).

Satu lagi dalam surat Ibrahim (14): 50 tentang siksa yang akan

dialami oleh orang-orang berdosa kelak di hari kemudian:

pakaian mereka dari pelangkin. Dari sini terpahami bahwa

pakaian ada yang menjadi alat penyiksa. Tentu saja siksaan

tersebut karena yang bersangkutan tidak menyesuaikan diri

dengan nilai-nilai yang diamanatkan oleh Allah Swt.



PAKAIAN DAN FITRAH



Dari ayat yang menguraikan peristiwa terbukanya aurat Adam,

dan ayat-ayat sesudahnya, para ulama menyimpulkan bahwa pada

hakikatnya menutup aurat adalah fitrah manusia jrang

diaktualkan pada saat ia memiliki kesadaran.



Seperti dikemukakan ketika menjelaskan arti tsaub, manusia

pada mulanya tertutup auratnya. Ayat yang menguraikan hal ini

menggunakan istilah li yubdiya lahuma ma~ wuriya 'anhuma min

sauatihima (untuk menampakkan kepada keduanya apa yang

tertutup dari mereka, yaitu auratnya) (QS Al-A'raf [7]: 20).



Penggalan ayat itu bukan saja mengisyaratkan bahwa sejak

semula Adam dan Hawa tidak dapat saling melihat aurat mereka,

melainkan juga berarti bahwa aurat masing-masing tertutup

sehingga mereka sendiri pun tidak dapat melihatnya.



Kemudian setan merayu mereka agar memakan pohon terlarang, dan

akibatnya adalah aurat yang tadinya tertutup menjadi terbuka,

dan mereka menyadari keterbukaannya, sehingga mereka berusaha

menutupinya dengan daun-daun surga. Usaha tersebut menunjukkan

adanya naluri pada diri manusia sejak awal kejadiannya bahwa

aurat harus ditutup dengan cara berpakaian.



Perlu diperhatikan pula kalimat yang dipergunakan Al-Quran

untuk menyatakan usaha kedua orang tua kita, "Wa thafiqa

yakhshifan 'alaihima min waraq al-jannah."



Kata yakhshifan terambil dari kata khashf yang berarti

menempelkan sesuatu pada sesuatu yang lain agar menjadi lebih

kokoh. Contoh yang dikemukakan oleh pakar-pakar bahasa adalah

menempelkkan lapisan baru pada lapisan yang ada dari alas

kaki, agar lebih kuat dan kokoh.



Adam dan Hawa bukan sekadar mengambil satu lembar daun untuk

menutup auratnya (karena jika demikian pakaiannya adalah

mini), melainkan sekian banyak lembar agar melebar, dengan

cara menempelkan selembar daun di atas lembar lain, sebagai

tanda bahwa pakaian tersebut sedemikian tebal, sehingga tidak

transparan atau tembus pandang.



Hal lain yang mengisyaratkan bahwa berpakaian atau menutup

aurat merupakan fitrah manusia adalah penggunaan istilah "Ya

Bani Adam" (Wahai putra-putri Adam) dalam ayat-ayat yang

berbicara tentang berpakaian.



Panggilan semacam ini hanya terulang empat kali dalam

Al-Quran. Kesan dan makna yang disampaikannya berbeda dengan

panggilan ya ayyuhal ladzina amanu yang hanya khusus kepada

orang-orang mukmin, atau ya ayyuhan nas yang boleh jadi hanya

ditujukan kepada seluruh manusia sejak masa Nabi Saw. hingga

akhir zaman. Panggilan ya Bani Adam jelas tertuju kepada

seluruh manusia. Bukankah Adam adalah ayah seluruh manusia?



Hanya empat kali panggilan ya Bani Adam dalam Al-Quran, dan

semuanya terdapat dalam surat Al-'Araf, yaitu:



1. Ayat 26 berbicara tentang macam-macam pakaian yang

dianugerahkan Allah.



2. Ayat 27 berbicara tentang larangan mengikuti setan

yang menyebabkan terbukanya aurat orang tua manusia

(Adam dan Hawa).



3. Ayat 31 memerintahkan memakai pakaian indah pada

saat memasuki masjid.



4. Ayat 35 adalah kewajiban taat kepada tuntunan Allah

yang disampaikan oleh para rasul-Nya (tentu termasuk

tuntunan berpakaian).



Ini menunjukkan bahwa sejak dini Allah Swt. telah mengilhami

manusia sehingga timbul dalam dirinya dorongan untuk

berpakaian, bahkan kebutuhan untuk berpakaian, sebagaimana

diisyaratkan oleh surat Thaha (20): 117-118, yang mengingatkan

Adam bahwa jika ia terusir dari surga karena setan, tentu ia

akan bersusah payah di dunia untuk mencari sandang, pangan,

dan papan. Dorongan tersebut diciptakan Allah dalam naluri

manusia yang memiliki kesadaran kemanusiaan. Itu sebabnya

terlihat bahwa manusia primitif pun selalu menutupi apa yang

dinilainya sebagai aurat.



Dari ayat yang berbicara tentang ketertutupan aurat, ditemukan

isyarat bahwa untuk merealisasikan hal tersebut, manusia tidak

membutuhkan upaya dan tenaga yang berat. Hal ini diisyaratkan

oleh bentuk pasif yang dipilih Al-Quran untuk menyebut

tertutupnya aurat Adam dan Hawa, yakni ayat 22 surat Al-A'raf

yang dikutip pada awal uraian ini: "yang tertutup dan mereka

yaitu aurat mereka."



Menutup aurat tidak sulit, karena dapat dilakukan dengan bahan

apa pun yang tersedia, sekalipun selembar daun (asalkan dapat

menutupinya).



FUNGSI PAKAIAN



Dari sekian banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang

pakaian, dapat ditemukan paling tidak ada empat fungsi

pakaian.



Al-Quran surat Al-A'raf (7): 26 menjelaskan dua fungsi

pakaian:



Wahai putra putri Adam, sesungguhnya Kami telah

menurunkan kepada kamu pakaian yang menutup auratmu dan

juga (pakaian) bulu (untuk menjadi perhiasan), dan

pakaian takwa itulah yang paling baik.



Ayat ini setidaknya menjelaskan dua fungsi pakaian, yaitu

penutup aurat dan perhiasan.



Sebagian ulama bahkan menyatakan bahwa ayat di atas berbicara

tentang fungsi ketiga pakaian, yaitu fungsi takwa, dalam arti

pakaian dapat menghindarkan seseorang terjerumus ke dalam

bencana dan kesulitan, baik bencana duniawi maupun ukhrawi.



Syaikh Muhammad Thahir bin 'Asyur menjelaskan jalan pikiran

ulama yang berpendapat demikian. Ia menulis dalam tafsirnya

tentang ayat tersebut:



Libasut taqwa dibaca oleh Imam Nafi' ibnu Amir,

Al-Kisa'i, dan Abu Ja'far dengan nashab (dibaca libasa

sehingga kedudukannya sebagai objek penderita). Ini

berarti sama dengan pakaian-pakaian lain yang

diciptakan, dan tentunya pakaian ini tidak berbentuk

abstrak, melainkan nyata. Takwa yang dimaksud di sini

adalah pemeliharaan, sehingga yang dimaksud dengannya

adalah pakaian berupa perisai yang digunakan dalam

peperangan untuk memelihara dan menghindarkan

pemakainya dari luka dan bencana lain.



Ada juga yang membaca libasu at-taqwa, sehingga kata tersebut

tidak berkedudukan sebagai objek penderita. Ketika itu, salah

satu makna yang dikandungnya adalah adanya pakaian batin yang

dapat menghindarkan seseorang dari bencana duniawi dan

ukhrawi.



Betapapun, ditemukan ayat lain yang menjelaskan fungsi ketiga

pakaian, yakni fungsi pemeliharaan terhadap bencana, dan dari

sengatan panas dan dingin,



Dia (Allah) menjadikan untuk kamu pakaian yang

memelihara kamu dari sengatan panas (dan dingin), serta

pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam

peperangan... (QS Al-Nahl [16]: 81).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar