ARRISALAH ISLAM
Minggu, 25 Desember 2011
Sabtu, 17 Desember 2011
Jumat, 25 Februari 2011
PERGAULAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
PERGAULAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
Kesulitan kita - sebagaimana yang sering saya kemukakan -
ialah bahwa dalam memandang berbagai persoalan agama,
umumnya masyarakat berada dalam kondisi ifrath (berlebihan)
dan tafrith (mengabaikan). Jarang sekali kita temukan sikap
tawassuth (pertengahan) yang merupakan salah satu
keistimewaan dan kecemerlangan manhaj Islam dan umat Islam.
Sikap demikian juga sama ketika mereka memandang masalah
pergaulan wanita muslimah di tengah-tengah masyarakat. Dalam
hal ini, ada dua golongan masyarakat yang saling
bertentangan dan menzalimi kaum wanita.
Pertama, golongan yang kebarat-baratan yang menghendaki
wanita muslimah mengikuti tradisi Barat yang bebas tetapi
merusak nilai-nilai agama dan menjauh dari fitrah yang lurus
serta jalan yang lempang. Mereka jauh dari Allah yang telah
mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya untuk
menjelaskan dan menyeru manusia kepada-Nya.
Mereka menghendaki wanita muslimah mengikuti tata kehidupan
wanita Barat "sejengkal demi sejengkal, sehasta demi
sehasta" sebagaimana yang digambarkan oleh hadits Nabi,
sehingga andaikata wanita-wanita Barat itu masuk ke lubang
biawak niscaya wanita muslimah pun mengikuti di belakangnya.
Sekalipun lubang biawak tersebut melingkar-lingkar, sempit,
dan pengap, wanita muslimah itu akan tetap merayapinya. Dari
sinilah lahir "solidaritas" baru yang lebih dipopulerkan
dengan istilah "solidaritas lubang biawak."
Mereka melupakan apa yang dikeluhkan wanita Barat sekarang
serta akibat buruk yang ditimbulkan oleh pergaulan bebas
itu, baik terhadap wanita maupun laki-laki, keluarga, dan
masyarakat. Mereka sumbat telinga mereka dari
kritikan-kritikan orang yang menentangnya yang datang silih
berganti dari seluruh penjuru dunia, termasuk dari Barat
sendiri. Mereka tutup telinga mereka dari fatwa para ulama,
pengarang, kaum intelektual, dan para muslihin yang
mengkhawatirkan kerusakan yang ditimbulkan peradaban Barat,
terutama jika semua ikatan dalan pergaulan antara laki-laki
dan perempuan benar-benar terlepas.
Mereka lupa bahwa tiap-tiap umat memiliki kepribadian
sendiri yang dibentuk oleh aqidah dan pandangannya terhadap
alam semesta, kehidupan, tuhan, nilai-nilai agama, warisan
budaya, dan tradisi. Tidak boleh suatu masyarakat melampaui
tatanan suatu masyarakat lain.
Kedua, golongan yang mengharuskan kaum wanita mengikuti
tradisi dan kebudayaan lain, yaitu tradisi Timur, bukan
tradisi Barat. Walaupun dalam banyak hal mereka telah
dicelup oleh pengetahuan agama, tradisi mereka tampak lebih
kokoh daripada agamanya. Termasuk dalam hal wanita, mereka
memandang rendah dan sering berburuk sangka kepada wanita.
Bagaimanapun, pandangan-pandangan diatas bertentangan dengan
pemikiran-pemikiran lain yang mengacu pada Al-Qur'anul Karim
dan petunjuk Nabi saw. serta sikap dan pandangan para
sahabat yang merupakan generasi muslim terbaik.
Ingin saya katakan disini bahwa istilah ikhtilath
(percampuran) dalam lapangan pergaulan antara laki-laki
dengan perempuan merupakan istilah asing yang dimasukkan
dalam "Kamus Islam." Istilah ini tidak dikenal dalam
peradaban kita selama berabad-abad yang silam, dan baru
dikenal pada zaman sekarang ini saja. Tampaknya ini
merupakan terjemahan dari kata asing yang punya konotasi
tidak menyenangkan terhadap perasaan umat Islam. Barangkali
lebih baik bila digunakan istilah liqa' (perjumpaan),
muqabalah (pertemuan), atau musyarakrah (persekutuan)
laki-laki dengan perempuan.
Tetapi bagaimanapun juga, Islam tidak menetapkan hukum
secara umum mengenai masalah ini. Islam justru
memperhatikannya dengan melihat tujuan atau kemaslahatan
yang hendak diwujudkannya, atau bahaya yang
dikhawatirkannya, gambarannya, dan syarat-syarat yang harus
dipenuhinya, atau lainnya.
Sebaik-baik petunjuk dalam masalah ini ialah petunjuk Nabi
Muhammad saw., petunjuk khalifah-khalifahnya yang lurus, dan
sahabat-sahabatnya yang terpimpin.
Orang yang mau memperhatikan petunjuk ini, niscaya ia akan
tahu bahwa kaum wanita tidak pernah dipenjara atau diisolasi
seperti yang terjadi pada zaman kemunduran umat Islam.
Pada zaman Rasulullah saw., kaum wanita biasa menghadiri
shalat berjamaah dan shalat Jum'at. Beliau saw. menganjurkan
wanita untuk mengambil tempat khusus di shaf (baris)
belakang sesudah shaf laki-laki. Bahkan, shaf yang paling
utama bagi wanita adalah shaf yang paling belakang. Mengapa?
Karena, dengan paling belakang, mereka lebih terpelihara
dari kemungkinan melihat aurat laki-laki. Perlu diketahui
bahwa pada zaman itu kebanyakan kaum laki-laki belum
mengenal celana.
Pada zaman Rasulullah saw. (jarak tempat shalat) antara
laki-laki dengan perempuan tidak dibatasi dengan tabir sama
sekali, baik yang berupa dinding, kayu, kain, maupun
lainnya. Pada mulanya kaum laki-laki dan wanita masuk ke
masjid lewat pintu mana saja yang mereka sukai, tetapi
karena suatu saat mereka berdesakan, baik ketika masuk
maupun keluar, maka Nabi saw. bersabda:
"Alangkah baiknya kalau kamu jadikan pintu ini untuk wanita"
Dari sinilah mula-mula diberlakukannya pintu khusus untuk
wanita, dan sampai sekarang pintu itu terkenal dengan
istilah "pintu wanita."
Kaum wanita pada zaman Nabi saw. juga biasa menghadiri
shalat Jum'at, sehingga salah seorang diantara mereka ada
yang hafal surat "Qaf." Hal ini karena seringnya mereka
mendengar dari lisan Rasulullah saw. ketika berkhutbah
Jum'at.
Kaum wanita juga biasa menghadiri shalat Idain (Hari Raya
Idul Fitri dan Idul Adha). Mereka biasa menghadiri hari raya
Islam yang besar ini bersama orang dewasa dan anak-anak,
laki-laki dan perempuan, di tanah lapang dengan bertahlil
dan bertakbir.
Imam Muslim meriwayatkan dari Ummu Athiyah, katanya:
"Kami diperintahkan keluar (untuk menunaikan shalat dan
mendengarkan khutbah) pada dua hari raya, demikian pula
wanita-wanita pingitan dan para gadis."
Dan menurut satu riwayat Ummu Athiyah berkata:
"Rasulullah saw. menyuruh kami mengajak keluar kaum wanita
pada hari raya Fitri dan Adha, yaitu wanita-wanita muda,
wanita-wanita yang sedang haid, dan gadis-gadis pingitan.
Adapun wanita-wanita yang sedang haid, mereka tidak
mengerjakan shalat, melainkan mendengarkan nasihat dan
dakwah bagi umat Islam (khutbah, dan sebagainya). Aku (Ummu
Athiyah) bertanya, 'Ya Rasulullah salah seorang diantara
kami tidak mempunyai jilbab.' Beliau menjawab, 'Hendaklah
temannya meminjamkan jilbab yang dimilikinya.'"1
Ini adalah sunnah yang telah dimatikan umat Islam di semua
negara Islam, kecuali yang belakangan digerakkan oleh
pemuda-pemuda Shahwah Islamiyyah (Kebangkitan Islam). Mereka
menghidupkan sebagian sunnah-sunnah Nabi saw. yang telah
dimatikan orang, seperti sunnah i'tikaf pada sepuluh hari
terakhir bulan Ramadhan dan sunnah kehadiran kaum wanita
pada shalat Id.
Kaum wanita juga menghadiri pengajian-pengajian untuk
mendapatkan ilmu bersama kaum laki-laki di sisi Nabi saw.
Mereka biasa menanyakan beberapa persoalan agama yang
umumnya malu ditanyakan oleh kaum wanita. Aisyah r.a. pernah
memuji wanita-wanita Anshar yang tidak dihalangi oleh rasa
malu untuk memahami agamanya, seperti menanyakan masalah
jinabat, mimpi mengeluarkan sperma, mandi junub, haid,
istihadhah, dan sebagainya.
Tidak hanya sampai disitu hasrat mereka untuk menyaingi kaum
laki-laki dalam menimba-ilmu dari Rasululah saw. Mereka juga
meminta kepada Rasulullah saw. agar menyediakan hari
tertentu untuk mereka, tanpa disertai kaum laki-laki. Hal
ini mereka nyatakan terus terang kepada Rasulullah saw.,
"Wahai Rasulullah, kami dikalahkan kaum laki-laki untuk
bertemu denganmu, karena itu sediakanlah untuk kami hari
tertentu untuk bertemu denganmu." Lalu Rasulullah saw.
menyediakan untuk mereka suatu hari tertentu guna bertemu
dengan mereka, mengajar mereka, dan menyampaikan
perintah-perintah kepada mereka.2
Lebih dari itu kaum wanita juga turut serta dalam perjuangan
bersenjata untuk membantu tentara dan para mujahid, sesuai
dengan kemampuan mereka dan apa yang baik mereka kerjakan,
seperti merawat yang sakit dan terluka, disamping memberikan
pelayanan-pelayanan lain seperti memasak dan menyediakan air
minum. Diriwayatkan dari Ummu Athiyah, ia berkata:
"Saya turut berperang bersama Rasulullah saw. sebanyak tujuh
kali, saya tinggal di tenda-tenda mereka, membuatkan mereka
makanan, mengobati yang terluka, dan merawat yang sakit."3
Imam Muslim juga meriwayatkan dari Anas:
"Bahwa Aisyah dan Ummu Sulaim pada waktu perang Uhud sangat
cekatan membawa qirbah (tempat air) di punggungnya kemudian
menuangkannya ke mulut orang-orang, lalu mengisinya lagi."4
Aisyah r.a. yang waktu itu sedang berusia belasan tahun
menepis anggapan orang-orang yang mengatakan bahwa
keikutsertaan kaum wanita dalam perang itu terbatas bagi
mereka yang telah lanjut usia. Anggapan ini tidak dapat
diterima, dan apa yang dapat diperbuat wanita-wanita yang
telah berusia lanjut dalam situasi dan kondisi yang menuntut
kemampuan fisik dan psikis sekaligus?
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa enam orang wanita mukmin turut
serta dengan pasukan yang mengepung Khaibar. Mereka memungut
anak-anak panah, mengadoni tepung, mengobati yang sakit,
mengepang rambut, turut berperang di jalan Allah, dan Nabi
saw memberi mereka bagian dari rampasan perang.
Bahkan terdapat riwayat yang sahih yang menceritakan bahwa
sebagian istri para sahabat ada yang turut serta dalam
peperangan Islam dengan memanggul senjata, ketika ada
kesempatan bagi mereka. Sudah dikenal bagaimana yang
dilakukan Ummu Ammarah Nusaibah binti Ka'ab dalam perang
Uhud, sehingga Nabi saw. bersabda mengenai dia, "Sungguh
kedudukannya lebih baik daripada si Fulan dan si Fulan."
Demikian pula Ummu Sulaim menghunus badik pada waktu perang
Hunain untuk menusuk perut musuh yang mendekat kepadanya.
Imam Muslim meriwayatkan dari Anas, anaknya (anak Ummu
Sulaim) bahwa Ummu Sulaim menghunus badik pada waktu perang
Hunain, maka Anas menyertainya. Kemudian suami Ummu Sulaim
Abu Thalhah, melihatnya lantas berkata, "Wahai Rasulullah,
ini Ummu Sulaim membawa badik." Lalu Rasululah saw. bertanya
kepada Ummu Sulaim, "Untuk apa badik ini? Ia menjawab, "Saya
mengambilnya, apabila ada salah seorang musyrik mendekati
saya akan saya tusuk perutnya dengan badik ini." Kemudian
Rasulullah saw. tertawa.5
Imam Bukhari telah membuat bab tersendiri didalam Shahih-nya
mengenai peperangan yang dilakukan kaum wanita.
Ambisi kaum wanita muslimah pada zaman Nabi saw. untuk turut
perang tidak hanya peperangan dengan negara-negara tetangga
atau yang berdekatan dengan negeri Arab seperti Khaibar dan
Hunain saja tetapi mereka juga ikut melintasi lautan dan
ikut menaklukkan daerah-daerah yang jauh guna menyampaikan
risalah Islam.
Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Anas bahwa
pada suatu hari Rasulullah saw. tidur siang di sisi Ummu
Haram binti Mulhan - bibi Anas - kemudian beliau bangun
seraya tertawa. Lalu Ummu Haram bertanya, "Mengapa engkau
tertawa, wahai Rasulullah?" Beliau bersabda, "Ada beberapa
orang dari umatku yang diperlihatkan kepadaku berperang fi
sabilillah. Mereka menyeberangi lautan seperti raja-raja
naik kendaraan." Ummu Haram berkata, "Wahai Rasulullah,
doakanlah kepada Allah agar Dia menjadikan saya termasuk
diantara mereka." Lalu Rasulullah saw. mendoakannya.6
Dikisahkan bahwa Ummu Haram ikut menyeberangi lautan pada
zaman Utsman bersama suaminya Ubadah bin Shamit ke Qibris.
Kemudian ia jatuh dari kendaraannya (setelah menyeberang)
disana, lalu meninggal dan dikubur di negeri tersebut,
sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli sejarah.7
Dalam kehidupan bermasyarakat kaum wanita juga turut serta
berdakwah: menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari
perbuatan munkar, sebagaimana firman Allah:
"Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan
sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang
lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah
dari yang munkar..." (at-Taubah: 71 )
Diantara peristiwa yang terkenal ialah kisah salah seorang
wanita muslimah pada zaman khalifah Umar bin Khattab yang
mendebat beliau di sebuah masjid. Wanita tersebut menyanggah
pendapat Umar mengenai masalah mahar (mas kawin), kemudian
Umar secara terang-terangan membenarkan pendapatnya, seraya
berkata, "Benar wanita itu, dan Umar keliru." Kisah ini
disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam menafsirkan surat
an-Nisa', dan beliau berkata, "Isnadnya bagus." Pada masa
pemerintahannya, Umar juga telah mengangkat asy-Syifa binti
Abdullah al-Adawiyah sebagai pengawas pasar.
Orang yang mau merenungkan Al-Qur'an dan hadits tentang
wanita dalam berbagai masa dan pada zaman kehidupan para
rasul atau nabi, niscaya ia tidak merasa perlu mengadakan
tabir pembatas yang dipasang oleh sebagian orang antara
laki-laki dengan perempuan.
Kita dapati Musa - ketika masih muda dan gagah perkasa -
bercakap-cakap dengan dua orang gadis putri seorang syekh
yang telah tua (Nabi Syusaib; ed.). Musa bertanya kepada
mereka dan mereka pun menjawabnya dengan tanpa merasa
berdosa atau bersalah, dan dia membantu keduanya dengan
sikap sopan dan menjaga diri. Setelah Musa membantunya,
salah seorang di antara gadis tersebut datang kepada Musa
sebagai utusan ayahnya untuk memanggil Musa agar menemui
ayahnya. Kemudian salah seorang dari kedua gadis itu
mengajukan usul kepada ayahnya agar Musa dijadikan
pembantunya, karena dia seorang yang kuat dan dapat
dipercaya.
Marilah kita baca kisah ini dalam Al-Qur'an:
"Dan tatkala ia (Musa) sampai di sumber air negeri Madyan ia
menjumpai disana sekumpulan orang yang sedang meminumi
(ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu,
dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa
berkata, 'Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu.?)' Kedua
wanita itu menjawab, 'Kami tidak dapat meminumi (ternak
kami), sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan
(ternaknya), sedangkan bapak kami adalah orang tua yang
telah lanjut umurnya.' Maka Musa memberi minum ternak itu
untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat
yang teduh lalu berdoa, 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat
memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.'
Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua
wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata, 'Sesungguhnya
bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap
(kebaikan)-mu memberi minum (ternak)kami.' Maka tatkala Musa
mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya
cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata, 'Janganlah kamu
takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu.'
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, 'Ya bapakku,
ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena
sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya.'" (al-Qashash: 23-26)
Mengenai Maryam, kita jumpai Zakaria masuk ke mihrabnya dan
menanyakan kepadanya tentang rezeki yang ada di sisinya:
"... Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia
dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata, 'Hai Maryam,
dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?' Maryam menjawab,
'Makanan itu dari sisi Allah.' Sesungguhnya Allah memberi
rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab."(Ali
Imran: 37)
Lihat pula tentang Ratu Saba, yang mengajak kaumnya
bermusyawarah mengenai masalah Nabi Sulaiman:
"Berkata dia (Bilqis), 'Hai para pembesar, berilah aku
pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah
memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam
majlis-(ku).' Mereka menjawab, 'Kita adalah orang-orang yang
memilih kekuatan dan (juga) memilih keberanian yang sangat
(dalam peperangan), dan keputusan berada di tanganmu; maka
pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan.' Dia
berkata, 'Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu
negeri, niscaya mereka membinasakannya dan menjadikan
penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang
akan mereka perbuat." (an-Naml 32-34)
Berikut ini percakapan antara Bilqis dan Sulaiman:
"Dan ketika Bilqis datang, ditanyakantah kepadanya, 'Serupa
inikah singgasanamu?' Dia menjawab, 'Seakan akan
singgasanamu ini singgasanaku, kami telah diberi pengetahuan
sebelumnya dan kamõ adalah orang-orang yang berserah diri.'
Dan apa yang disembahnya selama ini selain Allah,
mencegahnya (untuk melahirkan keislamannya), karena
sesungguhnya dia dahulunya termasuk orang-orang yang kafir.
Dikatakan kepadanya, 'Masuk1ah ke dalam istana.' Maka
tatka1a ia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air
yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah
Sulaiman, 'Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari
kaca. 'Berkata1ah Bilqis, 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku
telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri
bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta
alam.'"(an-Naml: 42-44)
Kita tidak boleh mengatakan "bahwa syariat (dalam kisah di
atas) adalah syariat yang hanya berlaku pada zaman sebelum
kita (Islam) sehingga kita tidak perlu mengikutinya."
Bagaimanapun, kisah-kisah yang disebutkan dalam Al-Qur'an
tersebut dapat dijadikan petunjuk, peringatan, dan pelajaran
bagi orang-orang berpikiran sehat. Karena itu, perkataan
yang benar mengenai masalah ini ialah "bahwa syariat orang
sebelum kita yang tercantum dalam Al-Qur' an dan As-Sunnah
adalah menjadi syariat bagi kita, selama syariat kita tidak
menghapusnya."
Allah telah berfirman kepada Rasul-Nya:
"Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh
Allah, maka ikutilah petunjuk mereka ..." (al-An'am: 90)
Sesungguhnya menahan wanita dalam rumah dan membiarkannya
terkurung didalamnya dan tidak memperbolehkannya keluar dari
rumah oleh Al-Qur'an - pada salah satu tahap diantara
tahapan-tahapan pembentukan hukum sebelum turunnya nash yang
menetapkan bentuk hukuman pezina sebagaimana yang terkenal
itu - ditentukan bagi wanita muslimah yang melakukan
perzinaan. Hukuman ini dianggap sebagai hukuman yang sangat
berat. Mengenai masalah ini Allah berfirman:
"Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji,
hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang
menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi
persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam
rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai memberi
jalan lain kepadanya." (an-Nisa': 15 )
Setelah itu Allah memberikan jalan bagi mereka ketika Dia
mensyariatkan hukum had, yaitu hukuman tertentu dalam syara'
sebagai hak Allah Ta'ala. Hukuman tersebut berupa hukuman
dera (seratus kali) bagi ghairu muhshan (laki-laki atau
wanita belum kawin) menurut nash Al-Qur'an, dan hukum rajam
bagi yang mahshan (laki-laki atau wanita yang sudah kawin)
sebagaimana disebutkan dalam As-Sunnah.
Jadi, bagaimana mungkin logika Al-Qur'an dan Islam akan
menganggap sebagai tindakan lurus dan tepat jika wanita
muslimah yang taat dan sopan itu harus dikurung dalam rumah
selamanya? Jika kita melakukan hal itu, kita seakan-akan
menjatuhkan hukuman kepadanya selama-lamanya, padahal dia
tidak berbuat dosa.
KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa
pertemuan antara laki-laki dengan perempuan tidak haram,
melainkan jaiz (boleh). Bahkan, hal itu kadang-kadang
dituntut apabila bertujuan untuk kebaikan, seperti dalam
urusan ilmu yang bermanfaat, amal saleh, kebajikan,
perjuangan, atau lain-lain yang memerlukan banyak tenaga,
baik dari laki-laki maupun perempuan.
Namun, kebolehan itu tidak berarti bahwa batas-batas
diantara keduanya menjadi lebur dan ikatan-ikatan syar'iyah
yang baku dilupakan. Kita tidak perlu menganggap diri kita
sebagai malaikat yang suci yang dikhawatirkan melakukan
pelanggaran, dan kita pun tidak perlu memindahkan budaya
Barat kepada kita. Yang harus kita lakukan ialah bekerja
sama dalam kebaikan serta tolong-menolong dalam kebajikan
dan takwa, dalam batas-batas hukum yang telah ditetapkan
oleh Islam. Batas-batas hukum tersebut antara lain:
1. Menahan pandangan dari kedua belah pihak. Artinya, tidak
boleh melihat aurat, tidak boleh memandang dengan syahwat,
tidak berlama-lama memandang tanpa ada keperluan. Allah
berfirman:
"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman,
'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi
mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat.' Katakanlah kepada wanita yang beriman,
'Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara
kemaluannya ..."(an-Nur: 30-31)
2. Pihak wanita harus mengenakan pakaian yang sopan yang
dituntunkan syara', yang menutup seluruh tubuh selain muka
dan telapak tangan. Jangan yang tipis dan jangan dengan
potongan yang menampakkan bentuk tubuh. Allah berfirman:
"... dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali
yang biasa tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung ke dadanya ..." (an-Nur: 31 )
Diriwayatkan dari beberapa sahabat bahwa perhiasan yang
biasa tampak ialah muka dan tangan.
Allah berfirman mengenai sebab diperintahkan-Nya berlaku
sopan:
"... Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu ..." (al-Ahzab:
59)
Dengan pakaian tersebut, dapat dibedakan antara wanita yang
baik-baik dengan wanita nakal. Terhadap wanita yang
baik-baik, tidak ada laki-laki yang suka mengganggunya,
sebab pakaian dan kesopanannya mengharuskan setiap orang
yang melihatnya untuk menghormatinya.
3. Mematuhi adab-adab wanita muslimah dalam segala hal,
terutama dalam pergaulannya dengan laki-laki:
a. Dalam perkataan, harus menghindari perkataan yang merayu
dan membangkitkan rangsangan. Allah berfirman:
"... Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan
ucapkanlah perkataan yang baik." (al-Ahzab: 32)
b. Dalam berjalan, jangan memancing pandangan orang. Firman
Allah:
"... Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan..." (an-Nur: 31)
Hendaklah mencontoh wanita yang diidentifikasikan oleh Allah
dengan firman-Nya:
"Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua
wanita itu berjalan kemalu-maluan ..." (al-Qashash: 25)
c. Dalam gerak, jangan berjingkrak atau berlenggak-lenggok,
seperti yang disebut dalam hadits:
"(Yaitu) wanita-wanita yang menyimpang dari ketaatan dan
menjadikan hati laki-laki cenderung kepada kerusakan
(kemaksiatan).8 HR Ahmad dan Muslim)
Jangan sampai ber-tabarruj (menampakkan aurat) sebagaimana
yang dilakukan wanita-wanita jahiliah tempo dulu atau pun
jahiliah modern
4. Menjauhkan diri dari bau-bauan yang harum dan warna-warna
perhiasan yang seharusnya dipakai di rumah, bukan di jalan
dan di dalam pertemuan-pertemuan dengan kaum laki-laki.
5. Jangan berduaan (laki-laki dengan perempuan) tanpa
disertai mahram. Banyak hadits sahih yang melarang hal ini
seraya mengatakan, 'Karena yang ketiga adalah setan.'
Jangan berduaan sekalipun dengan kerabat suami atau istri.
Sehubungan dengan ini, terdapat hadits yang berbunyi:
"Jangan kamu masuk ke tempat wanita." Mereka (sahabat)
bertanya, "Bagaimana dengan ipar wanita." Beliau menjawab,
"Ipar wanita itu membahayakan." (HR Bukhari)
Maksudnya, berduaan dengan kerabat suami atau istri dapat
menyebabkan kebinasaan, karena bisa jadi mereka duduk
berlama-lama hingga menimbulkan fitnah.
6. Pertemuan itu sebatas keperluan yang dikehendaki untuk
bekerja sama, tidak berlebih-lebihan yang dapat mengeluarkan
wanita dari naluri kewanitaannya, menimbulkan fitnah, atau
melalaikannya dari kewajiban sucinya mengurus rumah tangga
dan mendidik anak-anak.
Catatan kaki:
1 Shahih Muslim, "Kitab Shalatul Idain," hadits nomor 823.
2 Hadits riwayat Bukhari dalam Shahih-nya, "Kitab al-Ilm."
3 Shahih Muslim, hadits nomor 1812.
4 Shahih Muslim, nomor 1811.
5 Shahih Muslim, nomor 1809.
6 Shahih Muslim, hadits nomor 1912.
7 Lihat Shahih Muslim pada nomor-nomor setelah hadits
di atas. (penj.).
8 Mumiilat dan Maailaat mengandung empat macam pengertian.
Pertama, menyimpang dari menaati Allah dan tidak mau
memenuhi kewajiban-kewajibannya seperti menjaga kehormatan
dan sebagainya, dan mengajari wanita lain supaya berbuat
seperti ite. Kedua, berjalan dengan sombong dan melenggak-
lenggokkan pundaknya (tubuhnya). Ketiga, maailaat, menyisir
rambutnya sedemikian rupa dengan gaya pelacur.
Mumiilaat: menyisir wanita lain seperti sisirannya.
Keempat, cenderung kepada laki-laki dan berusaha menariknya
dengan menampakkan perhiasannya dan sebagainya
(Syarah Muslim, 17: 191 penj.).
Kesulitan kita - sebagaimana yang sering saya kemukakan -
ialah bahwa dalam memandang berbagai persoalan agama,
umumnya masyarakat berada dalam kondisi ifrath (berlebihan)
dan tafrith (mengabaikan). Jarang sekali kita temukan sikap
tawassuth (pertengahan) yang merupakan salah satu
keistimewaan dan kecemerlangan manhaj Islam dan umat Islam.
Sikap demikian juga sama ketika mereka memandang masalah
pergaulan wanita muslimah di tengah-tengah masyarakat. Dalam
hal ini, ada dua golongan masyarakat yang saling
bertentangan dan menzalimi kaum wanita.
Pertama, golongan yang kebarat-baratan yang menghendaki
wanita muslimah mengikuti tradisi Barat yang bebas tetapi
merusak nilai-nilai agama dan menjauh dari fitrah yang lurus
serta jalan yang lempang. Mereka jauh dari Allah yang telah
mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya untuk
menjelaskan dan menyeru manusia kepada-Nya.
Mereka menghendaki wanita muslimah mengikuti tata kehidupan
wanita Barat "sejengkal demi sejengkal, sehasta demi
sehasta" sebagaimana yang digambarkan oleh hadits Nabi,
sehingga andaikata wanita-wanita Barat itu masuk ke lubang
biawak niscaya wanita muslimah pun mengikuti di belakangnya.
Sekalipun lubang biawak tersebut melingkar-lingkar, sempit,
dan pengap, wanita muslimah itu akan tetap merayapinya. Dari
sinilah lahir "solidaritas" baru yang lebih dipopulerkan
dengan istilah "solidaritas lubang biawak."
Mereka melupakan apa yang dikeluhkan wanita Barat sekarang
serta akibat buruk yang ditimbulkan oleh pergaulan bebas
itu, baik terhadap wanita maupun laki-laki, keluarga, dan
masyarakat. Mereka sumbat telinga mereka dari
kritikan-kritikan orang yang menentangnya yang datang silih
berganti dari seluruh penjuru dunia, termasuk dari Barat
sendiri. Mereka tutup telinga mereka dari fatwa para ulama,
pengarang, kaum intelektual, dan para muslihin yang
mengkhawatirkan kerusakan yang ditimbulkan peradaban Barat,
terutama jika semua ikatan dalan pergaulan antara laki-laki
dan perempuan benar-benar terlepas.
Mereka lupa bahwa tiap-tiap umat memiliki kepribadian
sendiri yang dibentuk oleh aqidah dan pandangannya terhadap
alam semesta, kehidupan, tuhan, nilai-nilai agama, warisan
budaya, dan tradisi. Tidak boleh suatu masyarakat melampaui
tatanan suatu masyarakat lain.
Kedua, golongan yang mengharuskan kaum wanita mengikuti
tradisi dan kebudayaan lain, yaitu tradisi Timur, bukan
tradisi Barat. Walaupun dalam banyak hal mereka telah
dicelup oleh pengetahuan agama, tradisi mereka tampak lebih
kokoh daripada agamanya. Termasuk dalam hal wanita, mereka
memandang rendah dan sering berburuk sangka kepada wanita.
Bagaimanapun, pandangan-pandangan diatas bertentangan dengan
pemikiran-pemikiran lain yang mengacu pada Al-Qur'anul Karim
dan petunjuk Nabi saw. serta sikap dan pandangan para
sahabat yang merupakan generasi muslim terbaik.
Ingin saya katakan disini bahwa istilah ikhtilath
(percampuran) dalam lapangan pergaulan antara laki-laki
dengan perempuan merupakan istilah asing yang dimasukkan
dalam "Kamus Islam." Istilah ini tidak dikenal dalam
peradaban kita selama berabad-abad yang silam, dan baru
dikenal pada zaman sekarang ini saja. Tampaknya ini
merupakan terjemahan dari kata asing yang punya konotasi
tidak menyenangkan terhadap perasaan umat Islam. Barangkali
lebih baik bila digunakan istilah liqa' (perjumpaan),
muqabalah (pertemuan), atau musyarakrah (persekutuan)
laki-laki dengan perempuan.
Tetapi bagaimanapun juga, Islam tidak menetapkan hukum
secara umum mengenai masalah ini. Islam justru
memperhatikannya dengan melihat tujuan atau kemaslahatan
yang hendak diwujudkannya, atau bahaya yang
dikhawatirkannya, gambarannya, dan syarat-syarat yang harus
dipenuhinya, atau lainnya.
Sebaik-baik petunjuk dalam masalah ini ialah petunjuk Nabi
Muhammad saw., petunjuk khalifah-khalifahnya yang lurus, dan
sahabat-sahabatnya yang terpimpin.
Orang yang mau memperhatikan petunjuk ini, niscaya ia akan
tahu bahwa kaum wanita tidak pernah dipenjara atau diisolasi
seperti yang terjadi pada zaman kemunduran umat Islam.
Pada zaman Rasulullah saw., kaum wanita biasa menghadiri
shalat berjamaah dan shalat Jum'at. Beliau saw. menganjurkan
wanita untuk mengambil tempat khusus di shaf (baris)
belakang sesudah shaf laki-laki. Bahkan, shaf yang paling
utama bagi wanita adalah shaf yang paling belakang. Mengapa?
Karena, dengan paling belakang, mereka lebih terpelihara
dari kemungkinan melihat aurat laki-laki. Perlu diketahui
bahwa pada zaman itu kebanyakan kaum laki-laki belum
mengenal celana.
Pada zaman Rasulullah saw. (jarak tempat shalat) antara
laki-laki dengan perempuan tidak dibatasi dengan tabir sama
sekali, baik yang berupa dinding, kayu, kain, maupun
lainnya. Pada mulanya kaum laki-laki dan wanita masuk ke
masjid lewat pintu mana saja yang mereka sukai, tetapi
karena suatu saat mereka berdesakan, baik ketika masuk
maupun keluar, maka Nabi saw. bersabda:
"Alangkah baiknya kalau kamu jadikan pintu ini untuk wanita"
Dari sinilah mula-mula diberlakukannya pintu khusus untuk
wanita, dan sampai sekarang pintu itu terkenal dengan
istilah "pintu wanita."
Kaum wanita pada zaman Nabi saw. juga biasa menghadiri
shalat Jum'at, sehingga salah seorang diantara mereka ada
yang hafal surat "Qaf." Hal ini karena seringnya mereka
mendengar dari lisan Rasulullah saw. ketika berkhutbah
Jum'at.
Kaum wanita juga biasa menghadiri shalat Idain (Hari Raya
Idul Fitri dan Idul Adha). Mereka biasa menghadiri hari raya
Islam yang besar ini bersama orang dewasa dan anak-anak,
laki-laki dan perempuan, di tanah lapang dengan bertahlil
dan bertakbir.
Imam Muslim meriwayatkan dari Ummu Athiyah, katanya:
"Kami diperintahkan keluar (untuk menunaikan shalat dan
mendengarkan khutbah) pada dua hari raya, demikian pula
wanita-wanita pingitan dan para gadis."
Dan menurut satu riwayat Ummu Athiyah berkata:
"Rasulullah saw. menyuruh kami mengajak keluar kaum wanita
pada hari raya Fitri dan Adha, yaitu wanita-wanita muda,
wanita-wanita yang sedang haid, dan gadis-gadis pingitan.
Adapun wanita-wanita yang sedang haid, mereka tidak
mengerjakan shalat, melainkan mendengarkan nasihat dan
dakwah bagi umat Islam (khutbah, dan sebagainya). Aku (Ummu
Athiyah) bertanya, 'Ya Rasulullah salah seorang diantara
kami tidak mempunyai jilbab.' Beliau menjawab, 'Hendaklah
temannya meminjamkan jilbab yang dimilikinya.'"1
Ini adalah sunnah yang telah dimatikan umat Islam di semua
negara Islam, kecuali yang belakangan digerakkan oleh
pemuda-pemuda Shahwah Islamiyyah (Kebangkitan Islam). Mereka
menghidupkan sebagian sunnah-sunnah Nabi saw. yang telah
dimatikan orang, seperti sunnah i'tikaf pada sepuluh hari
terakhir bulan Ramadhan dan sunnah kehadiran kaum wanita
pada shalat Id.
Kaum wanita juga menghadiri pengajian-pengajian untuk
mendapatkan ilmu bersama kaum laki-laki di sisi Nabi saw.
Mereka biasa menanyakan beberapa persoalan agama yang
umumnya malu ditanyakan oleh kaum wanita. Aisyah r.a. pernah
memuji wanita-wanita Anshar yang tidak dihalangi oleh rasa
malu untuk memahami agamanya, seperti menanyakan masalah
jinabat, mimpi mengeluarkan sperma, mandi junub, haid,
istihadhah, dan sebagainya.
Tidak hanya sampai disitu hasrat mereka untuk menyaingi kaum
laki-laki dalam menimba-ilmu dari Rasululah saw. Mereka juga
meminta kepada Rasulullah saw. agar menyediakan hari
tertentu untuk mereka, tanpa disertai kaum laki-laki. Hal
ini mereka nyatakan terus terang kepada Rasulullah saw.,
"Wahai Rasulullah, kami dikalahkan kaum laki-laki untuk
bertemu denganmu, karena itu sediakanlah untuk kami hari
tertentu untuk bertemu denganmu." Lalu Rasulullah saw.
menyediakan untuk mereka suatu hari tertentu guna bertemu
dengan mereka, mengajar mereka, dan menyampaikan
perintah-perintah kepada mereka.2
Lebih dari itu kaum wanita juga turut serta dalam perjuangan
bersenjata untuk membantu tentara dan para mujahid, sesuai
dengan kemampuan mereka dan apa yang baik mereka kerjakan,
seperti merawat yang sakit dan terluka, disamping memberikan
pelayanan-pelayanan lain seperti memasak dan menyediakan air
minum. Diriwayatkan dari Ummu Athiyah, ia berkata:
"Saya turut berperang bersama Rasulullah saw. sebanyak tujuh
kali, saya tinggal di tenda-tenda mereka, membuatkan mereka
makanan, mengobati yang terluka, dan merawat yang sakit."3
Imam Muslim juga meriwayatkan dari Anas:
"Bahwa Aisyah dan Ummu Sulaim pada waktu perang Uhud sangat
cekatan membawa qirbah (tempat air) di punggungnya kemudian
menuangkannya ke mulut orang-orang, lalu mengisinya lagi."4
Aisyah r.a. yang waktu itu sedang berusia belasan tahun
menepis anggapan orang-orang yang mengatakan bahwa
keikutsertaan kaum wanita dalam perang itu terbatas bagi
mereka yang telah lanjut usia. Anggapan ini tidak dapat
diterima, dan apa yang dapat diperbuat wanita-wanita yang
telah berusia lanjut dalam situasi dan kondisi yang menuntut
kemampuan fisik dan psikis sekaligus?
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa enam orang wanita mukmin turut
serta dengan pasukan yang mengepung Khaibar. Mereka memungut
anak-anak panah, mengadoni tepung, mengobati yang sakit,
mengepang rambut, turut berperang di jalan Allah, dan Nabi
saw memberi mereka bagian dari rampasan perang.
Bahkan terdapat riwayat yang sahih yang menceritakan bahwa
sebagian istri para sahabat ada yang turut serta dalam
peperangan Islam dengan memanggul senjata, ketika ada
kesempatan bagi mereka. Sudah dikenal bagaimana yang
dilakukan Ummu Ammarah Nusaibah binti Ka'ab dalam perang
Uhud, sehingga Nabi saw. bersabda mengenai dia, "Sungguh
kedudukannya lebih baik daripada si Fulan dan si Fulan."
Demikian pula Ummu Sulaim menghunus badik pada waktu perang
Hunain untuk menusuk perut musuh yang mendekat kepadanya.
Imam Muslim meriwayatkan dari Anas, anaknya (anak Ummu
Sulaim) bahwa Ummu Sulaim menghunus badik pada waktu perang
Hunain, maka Anas menyertainya. Kemudian suami Ummu Sulaim
Abu Thalhah, melihatnya lantas berkata, "Wahai Rasulullah,
ini Ummu Sulaim membawa badik." Lalu Rasululah saw. bertanya
kepada Ummu Sulaim, "Untuk apa badik ini? Ia menjawab, "Saya
mengambilnya, apabila ada salah seorang musyrik mendekati
saya akan saya tusuk perutnya dengan badik ini." Kemudian
Rasulullah saw. tertawa.5
Imam Bukhari telah membuat bab tersendiri didalam Shahih-nya
mengenai peperangan yang dilakukan kaum wanita.
Ambisi kaum wanita muslimah pada zaman Nabi saw. untuk turut
perang tidak hanya peperangan dengan negara-negara tetangga
atau yang berdekatan dengan negeri Arab seperti Khaibar dan
Hunain saja tetapi mereka juga ikut melintasi lautan dan
ikut menaklukkan daerah-daerah yang jauh guna menyampaikan
risalah Islam.
Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Anas bahwa
pada suatu hari Rasulullah saw. tidur siang di sisi Ummu
Haram binti Mulhan - bibi Anas - kemudian beliau bangun
seraya tertawa. Lalu Ummu Haram bertanya, "Mengapa engkau
tertawa, wahai Rasulullah?" Beliau bersabda, "Ada beberapa
orang dari umatku yang diperlihatkan kepadaku berperang fi
sabilillah. Mereka menyeberangi lautan seperti raja-raja
naik kendaraan." Ummu Haram berkata, "Wahai Rasulullah,
doakanlah kepada Allah agar Dia menjadikan saya termasuk
diantara mereka." Lalu Rasulullah saw. mendoakannya.6
Dikisahkan bahwa Ummu Haram ikut menyeberangi lautan pada
zaman Utsman bersama suaminya Ubadah bin Shamit ke Qibris.
Kemudian ia jatuh dari kendaraannya (setelah menyeberang)
disana, lalu meninggal dan dikubur di negeri tersebut,
sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli sejarah.7
Dalam kehidupan bermasyarakat kaum wanita juga turut serta
berdakwah: menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari
perbuatan munkar, sebagaimana firman Allah:
"Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan
sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang
lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah
dari yang munkar..." (at-Taubah: 71 )
Diantara peristiwa yang terkenal ialah kisah salah seorang
wanita muslimah pada zaman khalifah Umar bin Khattab yang
mendebat beliau di sebuah masjid. Wanita tersebut menyanggah
pendapat Umar mengenai masalah mahar (mas kawin), kemudian
Umar secara terang-terangan membenarkan pendapatnya, seraya
berkata, "Benar wanita itu, dan Umar keliru." Kisah ini
disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam menafsirkan surat
an-Nisa', dan beliau berkata, "Isnadnya bagus." Pada masa
pemerintahannya, Umar juga telah mengangkat asy-Syifa binti
Abdullah al-Adawiyah sebagai pengawas pasar.
Orang yang mau merenungkan Al-Qur'an dan hadits tentang
wanita dalam berbagai masa dan pada zaman kehidupan para
rasul atau nabi, niscaya ia tidak merasa perlu mengadakan
tabir pembatas yang dipasang oleh sebagian orang antara
laki-laki dengan perempuan.
Kita dapati Musa - ketika masih muda dan gagah perkasa -
bercakap-cakap dengan dua orang gadis putri seorang syekh
yang telah tua (Nabi Syusaib; ed.). Musa bertanya kepada
mereka dan mereka pun menjawabnya dengan tanpa merasa
berdosa atau bersalah, dan dia membantu keduanya dengan
sikap sopan dan menjaga diri. Setelah Musa membantunya,
salah seorang di antara gadis tersebut datang kepada Musa
sebagai utusan ayahnya untuk memanggil Musa agar menemui
ayahnya. Kemudian salah seorang dari kedua gadis itu
mengajukan usul kepada ayahnya agar Musa dijadikan
pembantunya, karena dia seorang yang kuat dan dapat
dipercaya.
Marilah kita baca kisah ini dalam Al-Qur'an:
"Dan tatkala ia (Musa) sampai di sumber air negeri Madyan ia
menjumpai disana sekumpulan orang yang sedang meminumi
(ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu,
dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa
berkata, 'Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu.?)' Kedua
wanita itu menjawab, 'Kami tidak dapat meminumi (ternak
kami), sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan
(ternaknya), sedangkan bapak kami adalah orang tua yang
telah lanjut umurnya.' Maka Musa memberi minum ternak itu
untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat
yang teduh lalu berdoa, 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat
memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.'
Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua
wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata, 'Sesungguhnya
bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap
(kebaikan)-mu memberi minum (ternak)kami.' Maka tatkala Musa
mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya
cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata, 'Janganlah kamu
takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu.'
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, 'Ya bapakku,
ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena
sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya.'" (al-Qashash: 23-26)
Mengenai Maryam, kita jumpai Zakaria masuk ke mihrabnya dan
menanyakan kepadanya tentang rezeki yang ada di sisinya:
"... Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia
dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata, 'Hai Maryam,
dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?' Maryam menjawab,
'Makanan itu dari sisi Allah.' Sesungguhnya Allah memberi
rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab."(Ali
Imran: 37)
Lihat pula tentang Ratu Saba, yang mengajak kaumnya
bermusyawarah mengenai masalah Nabi Sulaiman:
"Berkata dia (Bilqis), 'Hai para pembesar, berilah aku
pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah
memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam
majlis-(ku).' Mereka menjawab, 'Kita adalah orang-orang yang
memilih kekuatan dan (juga) memilih keberanian yang sangat
(dalam peperangan), dan keputusan berada di tanganmu; maka
pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan.' Dia
berkata, 'Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu
negeri, niscaya mereka membinasakannya dan menjadikan
penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang
akan mereka perbuat." (an-Naml 32-34)
Berikut ini percakapan antara Bilqis dan Sulaiman:
"Dan ketika Bilqis datang, ditanyakantah kepadanya, 'Serupa
inikah singgasanamu?' Dia menjawab, 'Seakan akan
singgasanamu ini singgasanaku, kami telah diberi pengetahuan
sebelumnya dan kamõ adalah orang-orang yang berserah diri.'
Dan apa yang disembahnya selama ini selain Allah,
mencegahnya (untuk melahirkan keislamannya), karena
sesungguhnya dia dahulunya termasuk orang-orang yang kafir.
Dikatakan kepadanya, 'Masuk1ah ke dalam istana.' Maka
tatka1a ia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air
yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah
Sulaiman, 'Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari
kaca. 'Berkata1ah Bilqis, 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku
telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri
bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta
alam.'"(an-Naml: 42-44)
Kita tidak boleh mengatakan "bahwa syariat (dalam kisah di
atas) adalah syariat yang hanya berlaku pada zaman sebelum
kita (Islam) sehingga kita tidak perlu mengikutinya."
Bagaimanapun, kisah-kisah yang disebutkan dalam Al-Qur'an
tersebut dapat dijadikan petunjuk, peringatan, dan pelajaran
bagi orang-orang berpikiran sehat. Karena itu, perkataan
yang benar mengenai masalah ini ialah "bahwa syariat orang
sebelum kita yang tercantum dalam Al-Qur' an dan As-Sunnah
adalah menjadi syariat bagi kita, selama syariat kita tidak
menghapusnya."
Allah telah berfirman kepada Rasul-Nya:
"Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh
Allah, maka ikutilah petunjuk mereka ..." (al-An'am: 90)
Sesungguhnya menahan wanita dalam rumah dan membiarkannya
terkurung didalamnya dan tidak memperbolehkannya keluar dari
rumah oleh Al-Qur'an - pada salah satu tahap diantara
tahapan-tahapan pembentukan hukum sebelum turunnya nash yang
menetapkan bentuk hukuman pezina sebagaimana yang terkenal
itu - ditentukan bagi wanita muslimah yang melakukan
perzinaan. Hukuman ini dianggap sebagai hukuman yang sangat
berat. Mengenai masalah ini Allah berfirman:
"Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji,
hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang
menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi
persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam
rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai memberi
jalan lain kepadanya." (an-Nisa': 15 )
Setelah itu Allah memberikan jalan bagi mereka ketika Dia
mensyariatkan hukum had, yaitu hukuman tertentu dalam syara'
sebagai hak Allah Ta'ala. Hukuman tersebut berupa hukuman
dera (seratus kali) bagi ghairu muhshan (laki-laki atau
wanita belum kawin) menurut nash Al-Qur'an, dan hukum rajam
bagi yang mahshan (laki-laki atau wanita yang sudah kawin)
sebagaimana disebutkan dalam As-Sunnah.
Jadi, bagaimana mungkin logika Al-Qur'an dan Islam akan
menganggap sebagai tindakan lurus dan tepat jika wanita
muslimah yang taat dan sopan itu harus dikurung dalam rumah
selamanya? Jika kita melakukan hal itu, kita seakan-akan
menjatuhkan hukuman kepadanya selama-lamanya, padahal dia
tidak berbuat dosa.
KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa
pertemuan antara laki-laki dengan perempuan tidak haram,
melainkan jaiz (boleh). Bahkan, hal itu kadang-kadang
dituntut apabila bertujuan untuk kebaikan, seperti dalam
urusan ilmu yang bermanfaat, amal saleh, kebajikan,
perjuangan, atau lain-lain yang memerlukan banyak tenaga,
baik dari laki-laki maupun perempuan.
Namun, kebolehan itu tidak berarti bahwa batas-batas
diantara keduanya menjadi lebur dan ikatan-ikatan syar'iyah
yang baku dilupakan. Kita tidak perlu menganggap diri kita
sebagai malaikat yang suci yang dikhawatirkan melakukan
pelanggaran, dan kita pun tidak perlu memindahkan budaya
Barat kepada kita. Yang harus kita lakukan ialah bekerja
sama dalam kebaikan serta tolong-menolong dalam kebajikan
dan takwa, dalam batas-batas hukum yang telah ditetapkan
oleh Islam. Batas-batas hukum tersebut antara lain:
1. Menahan pandangan dari kedua belah pihak. Artinya, tidak
boleh melihat aurat, tidak boleh memandang dengan syahwat,
tidak berlama-lama memandang tanpa ada keperluan. Allah
berfirman:
"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman,
'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi
mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat.' Katakanlah kepada wanita yang beriman,
'Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara
kemaluannya ..."(an-Nur: 30-31)
2. Pihak wanita harus mengenakan pakaian yang sopan yang
dituntunkan syara', yang menutup seluruh tubuh selain muka
dan telapak tangan. Jangan yang tipis dan jangan dengan
potongan yang menampakkan bentuk tubuh. Allah berfirman:
"... dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali
yang biasa tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung ke dadanya ..." (an-Nur: 31 )
Diriwayatkan dari beberapa sahabat bahwa perhiasan yang
biasa tampak ialah muka dan tangan.
Allah berfirman mengenai sebab diperintahkan-Nya berlaku
sopan:
"... Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu ..." (al-Ahzab:
59)
Dengan pakaian tersebut, dapat dibedakan antara wanita yang
baik-baik dengan wanita nakal. Terhadap wanita yang
baik-baik, tidak ada laki-laki yang suka mengganggunya,
sebab pakaian dan kesopanannya mengharuskan setiap orang
yang melihatnya untuk menghormatinya.
3. Mematuhi adab-adab wanita muslimah dalam segala hal,
terutama dalam pergaulannya dengan laki-laki:
a. Dalam perkataan, harus menghindari perkataan yang merayu
dan membangkitkan rangsangan. Allah berfirman:
"... Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan
ucapkanlah perkataan yang baik." (al-Ahzab: 32)
b. Dalam berjalan, jangan memancing pandangan orang. Firman
Allah:
"... Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan..." (an-Nur: 31)
Hendaklah mencontoh wanita yang diidentifikasikan oleh Allah
dengan firman-Nya:
"Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua
wanita itu berjalan kemalu-maluan ..." (al-Qashash: 25)
c. Dalam gerak, jangan berjingkrak atau berlenggak-lenggok,
seperti yang disebut dalam hadits:
"(Yaitu) wanita-wanita yang menyimpang dari ketaatan dan
menjadikan hati laki-laki cenderung kepada kerusakan
(kemaksiatan).8 HR Ahmad dan Muslim)
Jangan sampai ber-tabarruj (menampakkan aurat) sebagaimana
yang dilakukan wanita-wanita jahiliah tempo dulu atau pun
jahiliah modern
4. Menjauhkan diri dari bau-bauan yang harum dan warna-warna
perhiasan yang seharusnya dipakai di rumah, bukan di jalan
dan di dalam pertemuan-pertemuan dengan kaum laki-laki.
5. Jangan berduaan (laki-laki dengan perempuan) tanpa
disertai mahram. Banyak hadits sahih yang melarang hal ini
seraya mengatakan, 'Karena yang ketiga adalah setan.'
Jangan berduaan sekalipun dengan kerabat suami atau istri.
Sehubungan dengan ini, terdapat hadits yang berbunyi:
"Jangan kamu masuk ke tempat wanita." Mereka (sahabat)
bertanya, "Bagaimana dengan ipar wanita." Beliau menjawab,
"Ipar wanita itu membahayakan." (HR Bukhari)
Maksudnya, berduaan dengan kerabat suami atau istri dapat
menyebabkan kebinasaan, karena bisa jadi mereka duduk
berlama-lama hingga menimbulkan fitnah.
6. Pertemuan itu sebatas keperluan yang dikehendaki untuk
bekerja sama, tidak berlebih-lebihan yang dapat mengeluarkan
wanita dari naluri kewanitaannya, menimbulkan fitnah, atau
melalaikannya dari kewajiban sucinya mengurus rumah tangga
dan mendidik anak-anak.
Catatan kaki:
1 Shahih Muslim, "Kitab Shalatul Idain," hadits nomor 823.
2 Hadits riwayat Bukhari dalam Shahih-nya, "Kitab al-Ilm."
3 Shahih Muslim, hadits nomor 1812.
4 Shahih Muslim, nomor 1811.
5 Shahih Muslim, nomor 1809.
6 Shahih Muslim, hadits nomor 1912.
7 Lihat Shahih Muslim pada nomor-nomor setelah hadits
di atas. (penj.).
8 Mumiilat dan Maailaat mengandung empat macam pengertian.
Pertama, menyimpang dari menaati Allah dan tidak mau
memenuhi kewajiban-kewajibannya seperti menjaga kehormatan
dan sebagainya, dan mengajari wanita lain supaya berbuat
seperti ite. Kedua, berjalan dengan sombong dan melenggak-
lenggokkan pundaknya (tubuhnya). Ketiga, maailaat, menyisir
rambutnya sedemikian rupa dengan gaya pelacur.
Mumiilaat: menyisir wanita lain seperti sisirannya.
Keempat, cenderung kepada laki-laki dan berusaha menariknya
dengan menampakkan perhiasannya dan sebagainya
(Syarah Muslim, 17: 191 penj.).
adab Pakaian Muslimah
Di dalam Islam ada garis panduan tersendiri mengenai adab Pakaian Muslimah (untuk lelaki dan wanita) yaitu:
1. Menutup aurat
AURAT lelaki menurut ahli hukum ialah daripada pusat hingga ke lutut. Aurat wanita pula ialah seluruh anggota badannya, kecuali wajah, tapak tangan dan tapak kakinya. Rasulullah SAW bersabda bermaksud: “Paha itu adalah aurat.” (Bukhari)
2. Tidak menampakkan tubuh
Pakaian Muslimah yang jarang sehingga menampakkan aurat Wanita Muslim tidak memenuhi syarat menutup aurat. Pakaian jarang bukan saja menampak warna kulit, malah boleh merangsang nafsu orang yang melihatnya.
Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud: “Dua golongan ahli neraka yang belum pernah aku lihat ialah, satu golongan memegang cemeti seperti ekor lembu yang digunakan bagi memukul manusia dan satu golongan lagi wanita yang memakai pakaian tetapi telanjang dan meliuk-liukkan badan juga kepalanya seperti bonggol unta yang tunduk.
Mereka tidak masuk syurga dan tidak dapat mencium baunya walaupun bau syurga itu dapat dicium daripada jarak yang jauh.” (Muslim)3. Pakaian tidak ketat
TUJUANNYA adalah supaya tidak kelihatan bentuk tubuh badan Wanita Muslim
4. Tidak menimbulkan riak
RASULULLAH SAW bersabda bermaksud: “Sesiapa yang melabuhkan pakaiannya kerana perasaan sombong, Allah SWT tidak akan memandangnya pada hari kiamat.” Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda bermaksud: “Sesiapa yang memakai pakaian yang berlebih-lebihan, maka Allah akan memberikan pakaian kehinaan pada hari akhirat nanti.” (Ahmad, Abu Daud, an-Nasa’iy dan Ibnu Majah)
5. Lelaki, wanita berbeza
MAKSUDNYA pakaian yang khusus untuk lelaki tidak boleh dipakai oleh wanita, begitu juga sebaliknya. Rasulullah SAW mengingatkan hal ini dengan tegas menerusi sabdanya yang bermaksud: “Allah mengutuk wanita yang meniru pakaian dan sikap lelaki, dan lelaki yang meniru pakaian dan sikap perempuan.” (Bukhari dan Muslim)
Baginda juga bersabda bermaksud: “Allah melaknat lelaki berpakaian wanita atau Pakaian Murah Muslim dan wanita berpakaian lelaki.” ?(Abu Daud dan Al-Hakim).
6. Larangan pakai sutera
ISLAM mengharamkan kaum lelaki memakai sutera. Rasulullah SAW bersabda bermaksud: “Janganlah kamu memakai sutera, sesungguhnya orang yang memakainya di dunia tidak dapat memakainya di akhirat.” (Muttafaq ‘alaih)
7. Melabuhkan pakaian
CONTOHNYA seperti tudung yang seharusnya dipakai sesuai kehendak syarak Wanita Muslimah yaitu bagi menutupi kepala dan rambut, tengkuk atau leher dan juga dada. Allah berfirman bermaksud: “Wahai Nabi, katakanlah (suruhlah) isteri-isteri dan anak-anak perempuanmu serta Wanita Muslimah beriman, supaya mereka melabuhkan pakaiannya bagi menutup seluruh tubuhnya (semasa mereka keluar); cara yang demikian lebih sesuai untuk mereka dikenal (sebagai perempuan yang baik-baik) maka dengan itu mereka tidak diganggu. Dan (ingatlah) Allah adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” ?(al-Ahzab:59)
8. Memilih warna sesuai
CONTOHNYA warna-warna lembut termasuk putih kerana ia nampak bersih dan warna Pakaian Muslim ini sangat disenangi dan sering menjadi pilihan Rasulullah SAW. Baginda bersabda bermaksud: “Pakailah Pakaian Muslim Putih kerana ia lebih baik, dan kafankan mayat kamu dengannya (kain putih).” (an-Nasa’ie dan al-Hakim)
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan lihat di Pakaian Muslimah | Pakaian Murah | Muslimah Murah | Wanita Muslimah | Pakaian Muslim | Wanita Muslim dan Pakaian Muslimah Murah &Pakaian Muslimah : Wanita Muslimah&Pakaian Muslim Jawa Timur di 88db.com
1. Menutup aurat
AURAT lelaki menurut ahli hukum ialah daripada pusat hingga ke lutut. Aurat wanita pula ialah seluruh anggota badannya, kecuali wajah, tapak tangan dan tapak kakinya. Rasulullah SAW bersabda bermaksud: “Paha itu adalah aurat.” (Bukhari)
2. Tidak menampakkan tubuh
Pakaian Muslimah yang jarang sehingga menampakkan aurat Wanita Muslim tidak memenuhi syarat menutup aurat. Pakaian jarang bukan saja menampak warna kulit, malah boleh merangsang nafsu orang yang melihatnya.
Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud: “Dua golongan ahli neraka yang belum pernah aku lihat ialah, satu golongan memegang cemeti seperti ekor lembu yang digunakan bagi memukul manusia dan satu golongan lagi wanita yang memakai pakaian tetapi telanjang dan meliuk-liukkan badan juga kepalanya seperti bonggol unta yang tunduk.
Mereka tidak masuk syurga dan tidak dapat mencium baunya walaupun bau syurga itu dapat dicium daripada jarak yang jauh.” (Muslim)3. Pakaian tidak ketat
TUJUANNYA adalah supaya tidak kelihatan bentuk tubuh badan Wanita Muslim
4. Tidak menimbulkan riak
RASULULLAH SAW bersabda bermaksud: “Sesiapa yang melabuhkan pakaiannya kerana perasaan sombong, Allah SWT tidak akan memandangnya pada hari kiamat.” Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda bermaksud: “Sesiapa yang memakai pakaian yang berlebih-lebihan, maka Allah akan memberikan pakaian kehinaan pada hari akhirat nanti.” (Ahmad, Abu Daud, an-Nasa’iy dan Ibnu Majah)
5. Lelaki, wanita berbeza
MAKSUDNYA pakaian yang khusus untuk lelaki tidak boleh dipakai oleh wanita, begitu juga sebaliknya. Rasulullah SAW mengingatkan hal ini dengan tegas menerusi sabdanya yang bermaksud: “Allah mengutuk wanita yang meniru pakaian dan sikap lelaki, dan lelaki yang meniru pakaian dan sikap perempuan.” (Bukhari dan Muslim)
Baginda juga bersabda bermaksud: “Allah melaknat lelaki berpakaian wanita atau Pakaian Murah Muslim dan wanita berpakaian lelaki.” ?(Abu Daud dan Al-Hakim).
6. Larangan pakai sutera
ISLAM mengharamkan kaum lelaki memakai sutera. Rasulullah SAW bersabda bermaksud: “Janganlah kamu memakai sutera, sesungguhnya orang yang memakainya di dunia tidak dapat memakainya di akhirat.” (Muttafaq ‘alaih)
7. Melabuhkan pakaian
CONTOHNYA seperti tudung yang seharusnya dipakai sesuai kehendak syarak Wanita Muslimah yaitu bagi menutupi kepala dan rambut, tengkuk atau leher dan juga dada. Allah berfirman bermaksud: “Wahai Nabi, katakanlah (suruhlah) isteri-isteri dan anak-anak perempuanmu serta Wanita Muslimah beriman, supaya mereka melabuhkan pakaiannya bagi menutup seluruh tubuhnya (semasa mereka keluar); cara yang demikian lebih sesuai untuk mereka dikenal (sebagai perempuan yang baik-baik) maka dengan itu mereka tidak diganggu. Dan (ingatlah) Allah adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” ?(al-Ahzab:59)
8. Memilih warna sesuai
CONTOHNYA warna-warna lembut termasuk putih kerana ia nampak bersih dan warna Pakaian Muslim ini sangat disenangi dan sering menjadi pilihan Rasulullah SAW. Baginda bersabda bermaksud: “Pakailah Pakaian Muslim Putih kerana ia lebih baik, dan kafankan mayat kamu dengannya (kain putih).” (an-Nasa’ie dan al-Hakim)
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan lihat di Pakaian Muslimah | Pakaian Murah | Muslimah Murah | Wanita Muslimah | Pakaian Muslim | Wanita Muslim dan Pakaian Muslimah Murah &Pakaian Muslimah : Wanita Muslimah&Pakaian Muslim Jawa Timur di 88db.com
PAKAIAN WANITA DALAM ISLAM
PAKAIAN WANITA DALAM ISLAM
Al-Quran paling tidak menggunakan tiga istilah untuk pakaian
yaitu, libas, tsiyab, dan sarabil. Kata libas ditemukan
sebanyak sepuluh kali, tsiyab ditemukan sebanyak delapan kali,
sedangkan sarabil ditemukan sebanyak tiga kali dalam dua ayat.
Libas pada mulanya berarti penutup --apa pun yang ditutup.
Fungsi pakaian sebagai penutup amat jelas. Tetapi, perlu
dicatat bahwa ini tidak harus berarti "menutup aurat", karena
cincin yang menutup sebagian jari juga disebut libas, dan
pemakainya ditunjuk dengan menggunakan akar katanya.
Ketika berbicara tentang laut, Al-Quran surat Al-Nahl (16): 14
menyatakan bahwa,
Dan kamu mengeluarkan dan laut itu perhiasan (antara
lain mutiara) yang kamu pakai.
Kata libas digunakan oleh Al-Quran untuk menunjukkan pakaian
lahir maupun batin, sedangkan kata tsiyab digunakan untuk
menunjukkan pakaian lahir. Kata ini terambil dari kata tsaub
yang berarti kembali, yakni kembalinya sesuatu pada keadaan
semula, atau pada keadaan yang seharusnya sesuai dengan ide
pertamanya.
Ungkapan yang menyatakan, bahwa "awalnya adalah ide dan
akhirnya adalah kenyataan", mungkin dapat membantu memahami
pengertian kebahasaan tersebut. Ungkapan ini berarti kenyataan
harus dikembalikan kepada ide asal, karena kenyataan adalah
cerminan dari ide asal.
Apakah ide dasar tentang pakaian?
Ar-Raghib Al-Isfahani --seorang pakar bahasa Al-Quran--
menyatakan bahwa pakaian dinamai tsiyab atau tsaub, karena ide
dasar adanya bahan-bahan pakaian adalah agar dipakai. Jika
bahan-bahan tersebut setelah dipintal kemudian menjadi
pakaian, maka pada hakikatnya ia telah kembali pada ide dasar
keberadaannya. Hemat penulis, ide dasar juga dapat
dikembalikan pada apa yang terdapat dalam benak manusia
pertama tentang dirinya.
Al-Quran surat Al-'Araf (7): 20 menjelaskan peristiwa ketika
Adam dan Hawa berada di surga:
Setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk
menampakkan pada keduanya apa yang tertutup dari
mereka, yaitu auratnya, dan setan berkata, "Tuhan kamu
melarang kamu mendekati pohon ini, supaya kamu berdua
tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang
yang kekal (di surga)."
Selanjutnya dijelaskan dalam ayat 22 bahwa:
...setelah mereka merasakan (buah) pohon (terlarang)
itu tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan
mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga...
Terlihat jelas bahwa ide dasar yang terdapat dalam diri
manusia adalah "tertutupnya aurat", namun karena godaan setan,
aurat manusia terbuka. Dengan demikian, aurat yang ditutup
dengan pakaian akan dikembalikan pada ide dasarnya. Wajarlah
jika pakaian dinamai tsaub/tsiyab yang berarti "sesuatu yang
mengembalikan aurat kepada ide dasarnya", yaitu tertutup.
Dan ayat di atas juga tampak bahwa ide "membuka aurat" adalah
ide setan, dan karenanya "tanda-tanda kehadiran setan adalah
"keterbukaan aurat". Sebuah riwayat yang dikemukakan oleh
Al-Biqa'i dalam bukunya Shubhat Waraqah menyatakan bahwa
ketika Nabi Saw. belum memperoleh keyakinan tentang apa yang
dialaminya di Gua Hira --apakah dari malaikat atau dari
setan-- beliau menyampaikan hal tersebut kepada istrinya
Khadijah. Khadijah berkata, "Jika engkau melihatnya lagi,
beritahulah aku". Ketika di saat lain Nabi Saw. melihat
(malaikat) yang dilihatnya di Gua Hira, Khadijah membuka
pakaiannya sambi1 bertanya, "Sekarang, apakah engkau masih
melihatnya?" Nabi Saw. menjawab, "Tidak, ... dia pergi."
Khadijah dengan penuh keyakinan berkata, "Yakinlah yang datang
bukan setan, ... (karena hanya setan yang senang melihat
aurat)".
Dalam hal ini Al-Quran mengingatkan:
Wahai putra-putra Adam, janganlah sekali-kali kamu
dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia (telah menipu
orang tuamu Adam dan Hawa) sehingga ia telah
mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga. Ia
menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan
kepada keduanya aurat mereka berdua (QS Al-A'raf [7]:
27).
Kata ketiga yang digunakan Al-Quran untuk menjelaskan perihal
pakaian adalah sarabil. Kamus-kamus bahasa mengartikan kata
ini sebagai pakaian, apa pun jenis bahannya. Hanya dua ayat
yang menggunakan kata tersebut. Satu di antaranya diartikan
sebagai pakaian yang berfungsi menangkal sengatan panas,
dingin, dan bahaya dalam peperangan (QS Al-Nahl [16]: 81).
Satu lagi dalam surat Ibrahim (14): 50 tentang siksa yang akan
dialami oleh orang-orang berdosa kelak di hari kemudian:
pakaian mereka dari pelangkin. Dari sini terpahami bahwa
pakaian ada yang menjadi alat penyiksa. Tentu saja siksaan
tersebut karena yang bersangkutan tidak menyesuaikan diri
dengan nilai-nilai yang diamanatkan oleh Allah Swt.
PAKAIAN DAN FITRAH
Dari ayat yang menguraikan peristiwa terbukanya aurat Adam,
dan ayat-ayat sesudahnya, para ulama menyimpulkan bahwa pada
hakikatnya menutup aurat adalah fitrah manusia jrang
diaktualkan pada saat ia memiliki kesadaran.
Seperti dikemukakan ketika menjelaskan arti tsaub, manusia
pada mulanya tertutup auratnya. Ayat yang menguraikan hal ini
menggunakan istilah li yubdiya lahuma ma~ wuriya 'anhuma min
sauatihima (untuk menampakkan kepada keduanya apa yang
tertutup dari mereka, yaitu auratnya) (QS Al-A'raf [7]: 20).
Penggalan ayat itu bukan saja mengisyaratkan bahwa sejak
semula Adam dan Hawa tidak dapat saling melihat aurat mereka,
melainkan juga berarti bahwa aurat masing-masing tertutup
sehingga mereka sendiri pun tidak dapat melihatnya.
Kemudian setan merayu mereka agar memakan pohon terlarang, dan
akibatnya adalah aurat yang tadinya tertutup menjadi terbuka,
dan mereka menyadari keterbukaannya, sehingga mereka berusaha
menutupinya dengan daun-daun surga. Usaha tersebut menunjukkan
adanya naluri pada diri manusia sejak awal kejadiannya bahwa
aurat harus ditutup dengan cara berpakaian.
Perlu diperhatikan pula kalimat yang dipergunakan Al-Quran
untuk menyatakan usaha kedua orang tua kita, "Wa thafiqa
yakhshifan 'alaihima min waraq al-jannah."
Kata yakhshifan terambil dari kata khashf yang berarti
menempelkan sesuatu pada sesuatu yang lain agar menjadi lebih
kokoh. Contoh yang dikemukakan oleh pakar-pakar bahasa adalah
menempelkkan lapisan baru pada lapisan yang ada dari alas
kaki, agar lebih kuat dan kokoh.
Adam dan Hawa bukan sekadar mengambil satu lembar daun untuk
menutup auratnya (karena jika demikian pakaiannya adalah
mini), melainkan sekian banyak lembar agar melebar, dengan
cara menempelkan selembar daun di atas lembar lain, sebagai
tanda bahwa pakaian tersebut sedemikian tebal, sehingga tidak
transparan atau tembus pandang.
Hal lain yang mengisyaratkan bahwa berpakaian atau menutup
aurat merupakan fitrah manusia adalah penggunaan istilah "Ya
Bani Adam" (Wahai putra-putri Adam) dalam ayat-ayat yang
berbicara tentang berpakaian.
Panggilan semacam ini hanya terulang empat kali dalam
Al-Quran. Kesan dan makna yang disampaikannya berbeda dengan
panggilan ya ayyuhal ladzina amanu yang hanya khusus kepada
orang-orang mukmin, atau ya ayyuhan nas yang boleh jadi hanya
ditujukan kepada seluruh manusia sejak masa Nabi Saw. hingga
akhir zaman. Panggilan ya Bani Adam jelas tertuju kepada
seluruh manusia. Bukankah Adam adalah ayah seluruh manusia?
Hanya empat kali panggilan ya Bani Adam dalam Al-Quran, dan
semuanya terdapat dalam surat Al-'Araf, yaitu:
1. Ayat 26 berbicara tentang macam-macam pakaian yang
dianugerahkan Allah.
2. Ayat 27 berbicara tentang larangan mengikuti setan
yang menyebabkan terbukanya aurat orang tua manusia
(Adam dan Hawa).
3. Ayat 31 memerintahkan memakai pakaian indah pada
saat memasuki masjid.
4. Ayat 35 adalah kewajiban taat kepada tuntunan Allah
yang disampaikan oleh para rasul-Nya (tentu termasuk
tuntunan berpakaian).
Ini menunjukkan bahwa sejak dini Allah Swt. telah mengilhami
manusia sehingga timbul dalam dirinya dorongan untuk
berpakaian, bahkan kebutuhan untuk berpakaian, sebagaimana
diisyaratkan oleh surat Thaha (20): 117-118, yang mengingatkan
Adam bahwa jika ia terusir dari surga karena setan, tentu ia
akan bersusah payah di dunia untuk mencari sandang, pangan,
dan papan. Dorongan tersebut diciptakan Allah dalam naluri
manusia yang memiliki kesadaran kemanusiaan. Itu sebabnya
terlihat bahwa manusia primitif pun selalu menutupi apa yang
dinilainya sebagai aurat.
Dari ayat yang berbicara tentang ketertutupan aurat, ditemukan
isyarat bahwa untuk merealisasikan hal tersebut, manusia tidak
membutuhkan upaya dan tenaga yang berat. Hal ini diisyaratkan
oleh bentuk pasif yang dipilih Al-Quran untuk menyebut
tertutupnya aurat Adam dan Hawa, yakni ayat 22 surat Al-A'raf
yang dikutip pada awal uraian ini: "yang tertutup dan mereka
yaitu aurat mereka."
Menutup aurat tidak sulit, karena dapat dilakukan dengan bahan
apa pun yang tersedia, sekalipun selembar daun (asalkan dapat
menutupinya).
FUNGSI PAKAIAN
Dari sekian banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang
pakaian, dapat ditemukan paling tidak ada empat fungsi
pakaian.
Al-Quran surat Al-A'raf (7): 26 menjelaskan dua fungsi
pakaian:
Wahai putra putri Adam, sesungguhnya Kami telah
menurunkan kepada kamu pakaian yang menutup auratmu dan
juga (pakaian) bulu (untuk menjadi perhiasan), dan
pakaian takwa itulah yang paling baik.
Ayat ini setidaknya menjelaskan dua fungsi pakaian, yaitu
penutup aurat dan perhiasan.
Sebagian ulama bahkan menyatakan bahwa ayat di atas berbicara
tentang fungsi ketiga pakaian, yaitu fungsi takwa, dalam arti
pakaian dapat menghindarkan seseorang terjerumus ke dalam
bencana dan kesulitan, baik bencana duniawi maupun ukhrawi.
Syaikh Muhammad Thahir bin 'Asyur menjelaskan jalan pikiran
ulama yang berpendapat demikian. Ia menulis dalam tafsirnya
tentang ayat tersebut:
Libasut taqwa dibaca oleh Imam Nafi' ibnu Amir,
Al-Kisa'i, dan Abu Ja'far dengan nashab (dibaca libasa
sehingga kedudukannya sebagai objek penderita). Ini
berarti sama dengan pakaian-pakaian lain yang
diciptakan, dan tentunya pakaian ini tidak berbentuk
abstrak, melainkan nyata. Takwa yang dimaksud di sini
adalah pemeliharaan, sehingga yang dimaksud dengannya
adalah pakaian berupa perisai yang digunakan dalam
peperangan untuk memelihara dan menghindarkan
pemakainya dari luka dan bencana lain.
Ada juga yang membaca libasu at-taqwa, sehingga kata tersebut
tidak berkedudukan sebagai objek penderita. Ketika itu, salah
satu makna yang dikandungnya adalah adanya pakaian batin yang
dapat menghindarkan seseorang dari bencana duniawi dan
ukhrawi.
Betapapun, ditemukan ayat lain yang menjelaskan fungsi ketiga
pakaian, yakni fungsi pemeliharaan terhadap bencana, dan dari
sengatan panas dan dingin,
Dia (Allah) menjadikan untuk kamu pakaian yang
memelihara kamu dari sengatan panas (dan dingin), serta
pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam
peperangan... (QS Al-Nahl [16]: 81).
Al-Quran paling tidak menggunakan tiga istilah untuk pakaian
yaitu, libas, tsiyab, dan sarabil. Kata libas ditemukan
sebanyak sepuluh kali, tsiyab ditemukan sebanyak delapan kali,
sedangkan sarabil ditemukan sebanyak tiga kali dalam dua ayat.
Libas pada mulanya berarti penutup --apa pun yang ditutup.
Fungsi pakaian sebagai penutup amat jelas. Tetapi, perlu
dicatat bahwa ini tidak harus berarti "menutup aurat", karena
cincin yang menutup sebagian jari juga disebut libas, dan
pemakainya ditunjuk dengan menggunakan akar katanya.
Ketika berbicara tentang laut, Al-Quran surat Al-Nahl (16): 14
menyatakan bahwa,
Dan kamu mengeluarkan dan laut itu perhiasan (antara
lain mutiara) yang kamu pakai.
Kata libas digunakan oleh Al-Quran untuk menunjukkan pakaian
lahir maupun batin, sedangkan kata tsiyab digunakan untuk
menunjukkan pakaian lahir. Kata ini terambil dari kata tsaub
yang berarti kembali, yakni kembalinya sesuatu pada keadaan
semula, atau pada keadaan yang seharusnya sesuai dengan ide
pertamanya.
Ungkapan yang menyatakan, bahwa "awalnya adalah ide dan
akhirnya adalah kenyataan", mungkin dapat membantu memahami
pengertian kebahasaan tersebut. Ungkapan ini berarti kenyataan
harus dikembalikan kepada ide asal, karena kenyataan adalah
cerminan dari ide asal.
Apakah ide dasar tentang pakaian?
Ar-Raghib Al-Isfahani --seorang pakar bahasa Al-Quran--
menyatakan bahwa pakaian dinamai tsiyab atau tsaub, karena ide
dasar adanya bahan-bahan pakaian adalah agar dipakai. Jika
bahan-bahan tersebut setelah dipintal kemudian menjadi
pakaian, maka pada hakikatnya ia telah kembali pada ide dasar
keberadaannya. Hemat penulis, ide dasar juga dapat
dikembalikan pada apa yang terdapat dalam benak manusia
pertama tentang dirinya.
Al-Quran surat Al-'Araf (7): 20 menjelaskan peristiwa ketika
Adam dan Hawa berada di surga:
Setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk
menampakkan pada keduanya apa yang tertutup dari
mereka, yaitu auratnya, dan setan berkata, "Tuhan kamu
melarang kamu mendekati pohon ini, supaya kamu berdua
tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang
yang kekal (di surga)."
Selanjutnya dijelaskan dalam ayat 22 bahwa:
...setelah mereka merasakan (buah) pohon (terlarang)
itu tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan
mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga...
Terlihat jelas bahwa ide dasar yang terdapat dalam diri
manusia adalah "tertutupnya aurat", namun karena godaan setan,
aurat manusia terbuka. Dengan demikian, aurat yang ditutup
dengan pakaian akan dikembalikan pada ide dasarnya. Wajarlah
jika pakaian dinamai tsaub/tsiyab yang berarti "sesuatu yang
mengembalikan aurat kepada ide dasarnya", yaitu tertutup.
Dan ayat di atas juga tampak bahwa ide "membuka aurat" adalah
ide setan, dan karenanya "tanda-tanda kehadiran setan adalah
"keterbukaan aurat". Sebuah riwayat yang dikemukakan oleh
Al-Biqa'i dalam bukunya Shubhat Waraqah menyatakan bahwa
ketika Nabi Saw. belum memperoleh keyakinan tentang apa yang
dialaminya di Gua Hira --apakah dari malaikat atau dari
setan-- beliau menyampaikan hal tersebut kepada istrinya
Khadijah. Khadijah berkata, "Jika engkau melihatnya lagi,
beritahulah aku". Ketika di saat lain Nabi Saw. melihat
(malaikat) yang dilihatnya di Gua Hira, Khadijah membuka
pakaiannya sambi1 bertanya, "Sekarang, apakah engkau masih
melihatnya?" Nabi Saw. menjawab, "Tidak, ... dia pergi."
Khadijah dengan penuh keyakinan berkata, "Yakinlah yang datang
bukan setan, ... (karena hanya setan yang senang melihat
aurat)".
Dalam hal ini Al-Quran mengingatkan:
Wahai putra-putra Adam, janganlah sekali-kali kamu
dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia (telah menipu
orang tuamu Adam dan Hawa) sehingga ia telah
mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga. Ia
menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan
kepada keduanya aurat mereka berdua (QS Al-A'raf [7]:
27).
Kata ketiga yang digunakan Al-Quran untuk menjelaskan perihal
pakaian adalah sarabil. Kamus-kamus bahasa mengartikan kata
ini sebagai pakaian, apa pun jenis bahannya. Hanya dua ayat
yang menggunakan kata tersebut. Satu di antaranya diartikan
sebagai pakaian yang berfungsi menangkal sengatan panas,
dingin, dan bahaya dalam peperangan (QS Al-Nahl [16]: 81).
Satu lagi dalam surat Ibrahim (14): 50 tentang siksa yang akan
dialami oleh orang-orang berdosa kelak di hari kemudian:
pakaian mereka dari pelangkin. Dari sini terpahami bahwa
pakaian ada yang menjadi alat penyiksa. Tentu saja siksaan
tersebut karena yang bersangkutan tidak menyesuaikan diri
dengan nilai-nilai yang diamanatkan oleh Allah Swt.
PAKAIAN DAN FITRAH
Dari ayat yang menguraikan peristiwa terbukanya aurat Adam,
dan ayat-ayat sesudahnya, para ulama menyimpulkan bahwa pada
hakikatnya menutup aurat adalah fitrah manusia jrang
diaktualkan pada saat ia memiliki kesadaran.
Seperti dikemukakan ketika menjelaskan arti tsaub, manusia
pada mulanya tertutup auratnya. Ayat yang menguraikan hal ini
menggunakan istilah li yubdiya lahuma ma~ wuriya 'anhuma min
sauatihima (untuk menampakkan kepada keduanya apa yang
tertutup dari mereka, yaitu auratnya) (QS Al-A'raf [7]: 20).
Penggalan ayat itu bukan saja mengisyaratkan bahwa sejak
semula Adam dan Hawa tidak dapat saling melihat aurat mereka,
melainkan juga berarti bahwa aurat masing-masing tertutup
sehingga mereka sendiri pun tidak dapat melihatnya.
Kemudian setan merayu mereka agar memakan pohon terlarang, dan
akibatnya adalah aurat yang tadinya tertutup menjadi terbuka,
dan mereka menyadari keterbukaannya, sehingga mereka berusaha
menutupinya dengan daun-daun surga. Usaha tersebut menunjukkan
adanya naluri pada diri manusia sejak awal kejadiannya bahwa
aurat harus ditutup dengan cara berpakaian.
Perlu diperhatikan pula kalimat yang dipergunakan Al-Quran
untuk menyatakan usaha kedua orang tua kita, "Wa thafiqa
yakhshifan 'alaihima min waraq al-jannah."
Kata yakhshifan terambil dari kata khashf yang berarti
menempelkan sesuatu pada sesuatu yang lain agar menjadi lebih
kokoh. Contoh yang dikemukakan oleh pakar-pakar bahasa adalah
menempelkkan lapisan baru pada lapisan yang ada dari alas
kaki, agar lebih kuat dan kokoh.
Adam dan Hawa bukan sekadar mengambil satu lembar daun untuk
menutup auratnya (karena jika demikian pakaiannya adalah
mini), melainkan sekian banyak lembar agar melebar, dengan
cara menempelkan selembar daun di atas lembar lain, sebagai
tanda bahwa pakaian tersebut sedemikian tebal, sehingga tidak
transparan atau tembus pandang.
Hal lain yang mengisyaratkan bahwa berpakaian atau menutup
aurat merupakan fitrah manusia adalah penggunaan istilah "Ya
Bani Adam" (Wahai putra-putri Adam) dalam ayat-ayat yang
berbicara tentang berpakaian.
Panggilan semacam ini hanya terulang empat kali dalam
Al-Quran. Kesan dan makna yang disampaikannya berbeda dengan
panggilan ya ayyuhal ladzina amanu yang hanya khusus kepada
orang-orang mukmin, atau ya ayyuhan nas yang boleh jadi hanya
ditujukan kepada seluruh manusia sejak masa Nabi Saw. hingga
akhir zaman. Panggilan ya Bani Adam jelas tertuju kepada
seluruh manusia. Bukankah Adam adalah ayah seluruh manusia?
Hanya empat kali panggilan ya Bani Adam dalam Al-Quran, dan
semuanya terdapat dalam surat Al-'Araf, yaitu:
1. Ayat 26 berbicara tentang macam-macam pakaian yang
dianugerahkan Allah.
2. Ayat 27 berbicara tentang larangan mengikuti setan
yang menyebabkan terbukanya aurat orang tua manusia
(Adam dan Hawa).
3. Ayat 31 memerintahkan memakai pakaian indah pada
saat memasuki masjid.
4. Ayat 35 adalah kewajiban taat kepada tuntunan Allah
yang disampaikan oleh para rasul-Nya (tentu termasuk
tuntunan berpakaian).
Ini menunjukkan bahwa sejak dini Allah Swt. telah mengilhami
manusia sehingga timbul dalam dirinya dorongan untuk
berpakaian, bahkan kebutuhan untuk berpakaian, sebagaimana
diisyaratkan oleh surat Thaha (20): 117-118, yang mengingatkan
Adam bahwa jika ia terusir dari surga karena setan, tentu ia
akan bersusah payah di dunia untuk mencari sandang, pangan,
dan papan. Dorongan tersebut diciptakan Allah dalam naluri
manusia yang memiliki kesadaran kemanusiaan. Itu sebabnya
terlihat bahwa manusia primitif pun selalu menutupi apa yang
dinilainya sebagai aurat.
Dari ayat yang berbicara tentang ketertutupan aurat, ditemukan
isyarat bahwa untuk merealisasikan hal tersebut, manusia tidak
membutuhkan upaya dan tenaga yang berat. Hal ini diisyaratkan
oleh bentuk pasif yang dipilih Al-Quran untuk menyebut
tertutupnya aurat Adam dan Hawa, yakni ayat 22 surat Al-A'raf
yang dikutip pada awal uraian ini: "yang tertutup dan mereka
yaitu aurat mereka."
Menutup aurat tidak sulit, karena dapat dilakukan dengan bahan
apa pun yang tersedia, sekalipun selembar daun (asalkan dapat
menutupinya).
FUNGSI PAKAIAN
Dari sekian banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang
pakaian, dapat ditemukan paling tidak ada empat fungsi
pakaian.
Al-Quran surat Al-A'raf (7): 26 menjelaskan dua fungsi
pakaian:
Wahai putra putri Adam, sesungguhnya Kami telah
menurunkan kepada kamu pakaian yang menutup auratmu dan
juga (pakaian) bulu (untuk menjadi perhiasan), dan
pakaian takwa itulah yang paling baik.
Ayat ini setidaknya menjelaskan dua fungsi pakaian, yaitu
penutup aurat dan perhiasan.
Sebagian ulama bahkan menyatakan bahwa ayat di atas berbicara
tentang fungsi ketiga pakaian, yaitu fungsi takwa, dalam arti
pakaian dapat menghindarkan seseorang terjerumus ke dalam
bencana dan kesulitan, baik bencana duniawi maupun ukhrawi.
Syaikh Muhammad Thahir bin 'Asyur menjelaskan jalan pikiran
ulama yang berpendapat demikian. Ia menulis dalam tafsirnya
tentang ayat tersebut:
Libasut taqwa dibaca oleh Imam Nafi' ibnu Amir,
Al-Kisa'i, dan Abu Ja'far dengan nashab (dibaca libasa
sehingga kedudukannya sebagai objek penderita). Ini
berarti sama dengan pakaian-pakaian lain yang
diciptakan, dan tentunya pakaian ini tidak berbentuk
abstrak, melainkan nyata. Takwa yang dimaksud di sini
adalah pemeliharaan, sehingga yang dimaksud dengannya
adalah pakaian berupa perisai yang digunakan dalam
peperangan untuk memelihara dan menghindarkan
pemakainya dari luka dan bencana lain.
Ada juga yang membaca libasu at-taqwa, sehingga kata tersebut
tidak berkedudukan sebagai objek penderita. Ketika itu, salah
satu makna yang dikandungnya adalah adanya pakaian batin yang
dapat menghindarkan seseorang dari bencana duniawi dan
ukhrawi.
Betapapun, ditemukan ayat lain yang menjelaskan fungsi ketiga
pakaian, yakni fungsi pemeliharaan terhadap bencana, dan dari
sengatan panas dan dingin,
Dia (Allah) menjadikan untuk kamu pakaian yang
memelihara kamu dari sengatan panas (dan dingin), serta
pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam
peperangan... (QS Al-Nahl [16]: 81).
Pengertian Hidup menurut Al Qur'an
Masa hidup manusia terbagi dua (QS 40/11), hidup pertama adalah di dunia kini dan hidup kedua berlaku di akhirat. Kedua macam hidup berlaku dalam keadaan konkrit.
Berbagai macam ajaran mengenai hakekat hidup dan tujuan hidup telah berkembang. Masing-masing berbeda tentang pengertian dan tujuan hidup. Hanya Al Qur’an lah yang dapat menjelaskan arti dan tujuan hidup manusia secukupnya sehingga dapat dipahami oleh setiap individu yang membutuhkannya.
Orang atheis mendasarkan doktrinnya atas teori naturalism tidak dapat memberikan alasan kenapa adanya hidup kini, kecuali sebagai kelanjutan dari hukum evolusi pada setiap benda yang sejak dulu telah mengalami perubahan alamiah. Sementara mereka berbantahan pula mengenai hukum evolusi itu sendiri disebabkan banyaknya benturan (dead lock) dalam analysa dan teorinya.
Benturan itu mereka namakan Missing Link. Untuk tujuan hidup mereka juga tidak mempunyai arah dan alasan yang tepat. Tetapi mereka semua sama berpendapat bahwa yang ada kini akan musnah dengan sendirinya di ujung zaman sesuai dengan menusut dan habisnya alat kebutuhan hidup dan disebabkan terganggunggunya stabilitas susunan bintang di alam semesta.
Mereka berkesimpulan bahwa hidup kini dimulai dari kekosongan, telah terwujud secara alamiah, dan sedang menuju ke arah kekosongan alam semesta dimana setiap individu hilang berlalu tanpa bekas dan tidak akan hidup kembali.
Dalam hal ini mereka melupakan unsur Roh yang ada pada setiap individu.
Pihakyang menganut paham Plurality atau Trinity, walaupun tidak membenarkan teori evolusi , malah mengakui manusia ini memulai hidupnya dari satu diri yang sengaja diciptakan Tuhan, tetapi mereka tdak dapat memberikan alasan tentang maksud apa yang terkandung dalam perencanaan penciptaan itu. Sebagai tujuan hidup, mereka sama sependapat bahwa nanti akan berlaku kehidupan balasan sesudah mati, tetapi dalam kedaan gaib bukan konkrit, dimana setiap pribadi baik akan menerima kebahagiaan jiwa dan pribadi jahat akan merana.
Pihak pertama di atas tadi bertntangan dengan dengan ajaran Al Qur’an mengenai asal hidup dan juga bertentangan mengenai tujuan hidup, sedangkan pihak kedua bersamaan dengan ajaran Al Qur’an mengenai asal usul hidup juga bersamaan tentang tujuan hidup tetapi berbeda dalam hal ghaib dan konkrit. Sebaliknya kedua pihak (Islam dan Plurality/Trinity) sependapat tentang arti hidup yang tidak lain hanyalah berjuang untuk kebutuhan dan kelanjutan generasi, tetapi mereka (Plurality/Trinity) melupakan bahwa pendapat demikian akan berujung dengan pemusnahan generasi mendatang karena setiap individu lebih mementingkan keadaan sekarang tanpa ancaman resiko konkrit yang akan dihadapi di akhirat nanti.
Al Qur’an yang menjadi dasar ajaran hidup dalam Islam, memberikan alasan dan keterangan secukupnya mengenai sebab, arti dan tujuan hidup manusia.
A. Sebab adanya hidup
Semesta raya ini dulunya dari kekosongan total, tidak satupun yang ada kecuali Allah yang ESA yang senantiasa dalam keadaan ghaib. DIA mempunyai maksud agar berlaku penyembahan terhadapNYA yang tentu harus dilaksanakan oleh makhluk yang memiliki logika Maka perlulah diciptakan jin dan manusia yang akan menjalani ujian dimana dapat ditentukan berlakunya pengabdian dimaksud. Kedua macam makhluk ini membutuhkan tempat hidup dimana segala kebutuhan dalam pengujian tersedia secara alamiah atau ilmiah, maka diciptakanlah benda angkasa berbagai bentuk, masa dan fungsi. Semuanya terlaksana secara logis menurut rencana tepat, dan tiba masanya dimulai penciptaan Jin dan Manusia, masing-masing berbeda di segi abstrak dan konkrit.
Allah itu Pencipta tiap sesuatu dan DIA menjaga tiap sesuatu itu. (QS 39/62)
DIA pelaksana bagi apa yang DIA inginkan. (QS 85/16)
Dan tidaklah AKU ciptakan jin dan manusia itu kecuali untuk menyembah AKU (di akhirat utamanya). QS 51/96.
B. Arti Hidup KINI
Al Qur’an memberikan ajaran tentang arti hidup bahwa hendaklah menghubungkan dirinya secara langsung kepada Allah dengan cara melaksanakan hukum-hukum tertulis dalam al quran, dan menghubungkan dirinya pada masyarakat sesamanya dalam melaksanakan tugas amar makhruf nahi munkar.
DIAlah yang menciptakan kematian dan kehidupan agar DIA menguji kamu yang mana diantara kamu yang lebih baik perbuatannya, dan DIA Mulia dan Pengampun. (QS 67/2)
Bahwa Kami menunjukkan garis hukum padanya (manusia itu), terserah padanya untuk bersyukur atau kafir. (QS 76/3)
C. Tujuan hidup
Al Qur’an menjelaskan bahwa kehidupan kini bukanlah akan berlalu tanpa akibat tetapi berlangsung dengan catatan atas semua gerak zahir dan batin yang menentukan nilai setiap indivisu untuk kehidupan konkrit nantinya di alam akhirat, dimana kehidupan terpisah antara yang beriman dan yang kafir untuk selamanya.
Dan berlombalah kepada keampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya sama dengan luas planet-planet dan Bumi ini, dijanjikan untuk para muttaqien. (QS 3/133)
Sungguh kami ciptakan manusia itu pada perwujudan yang lebih baik. Kemudian kami tempatkan dia kepada kerendahan yang lebih rendah. Kecuali orang-orang beriman dan beramal shaleh, maka untuk mereka upah yang terhingga. QS 95/4-6)
Dengan keterangan singkat ini, jelaslah bahwa Al Qur’an bukan saja menjelaskan kenapa adanya hidup kini, tetapi juga memberikan arti hidup serta tujuannya yang harus dicapai oleh setiap diri.
Keterangan Al Qur’an seperti demikian dapat diterima akal sehat dan memang hanyalah kitab suci itulah yang mungkin memberikan penjelasan demikian.
Berbagai macam ajaran mengenai hakekat hidup dan tujuan hidup telah berkembang. Masing-masing berbeda tentang pengertian dan tujuan hidup. Hanya Al Qur’an lah yang dapat menjelaskan arti dan tujuan hidup manusia secukupnya sehingga dapat dipahami oleh setiap individu yang membutuhkannya.
Orang atheis mendasarkan doktrinnya atas teori naturalism tidak dapat memberikan alasan kenapa adanya hidup kini, kecuali sebagai kelanjutan dari hukum evolusi pada setiap benda yang sejak dulu telah mengalami perubahan alamiah. Sementara mereka berbantahan pula mengenai hukum evolusi itu sendiri disebabkan banyaknya benturan (dead lock) dalam analysa dan teorinya.
Benturan itu mereka namakan Missing Link. Untuk tujuan hidup mereka juga tidak mempunyai arah dan alasan yang tepat. Tetapi mereka semua sama berpendapat bahwa yang ada kini akan musnah dengan sendirinya di ujung zaman sesuai dengan menusut dan habisnya alat kebutuhan hidup dan disebabkan terganggunggunya stabilitas susunan bintang di alam semesta.
Mereka berkesimpulan bahwa hidup kini dimulai dari kekosongan, telah terwujud secara alamiah, dan sedang menuju ke arah kekosongan alam semesta dimana setiap individu hilang berlalu tanpa bekas dan tidak akan hidup kembali.
Dalam hal ini mereka melupakan unsur Roh yang ada pada setiap individu.
Pihakyang menganut paham Plurality atau Trinity, walaupun tidak membenarkan teori evolusi , malah mengakui manusia ini memulai hidupnya dari satu diri yang sengaja diciptakan Tuhan, tetapi mereka tdak dapat memberikan alasan tentang maksud apa yang terkandung dalam perencanaan penciptaan itu. Sebagai tujuan hidup, mereka sama sependapat bahwa nanti akan berlaku kehidupan balasan sesudah mati, tetapi dalam kedaan gaib bukan konkrit, dimana setiap pribadi baik akan menerima kebahagiaan jiwa dan pribadi jahat akan merana.
Pihak pertama di atas tadi bertntangan dengan dengan ajaran Al Qur’an mengenai asal hidup dan juga bertentangan mengenai tujuan hidup, sedangkan pihak kedua bersamaan dengan ajaran Al Qur’an mengenai asal usul hidup juga bersamaan tentang tujuan hidup tetapi berbeda dalam hal ghaib dan konkrit. Sebaliknya kedua pihak (Islam dan Plurality/Trinity) sependapat tentang arti hidup yang tidak lain hanyalah berjuang untuk kebutuhan dan kelanjutan generasi, tetapi mereka (Plurality/Trinity) melupakan bahwa pendapat demikian akan berujung dengan pemusnahan generasi mendatang karena setiap individu lebih mementingkan keadaan sekarang tanpa ancaman resiko konkrit yang akan dihadapi di akhirat nanti.
Al Qur’an yang menjadi dasar ajaran hidup dalam Islam, memberikan alasan dan keterangan secukupnya mengenai sebab, arti dan tujuan hidup manusia.
A. Sebab adanya hidup
Semesta raya ini dulunya dari kekosongan total, tidak satupun yang ada kecuali Allah yang ESA yang senantiasa dalam keadaan ghaib. DIA mempunyai maksud agar berlaku penyembahan terhadapNYA yang tentu harus dilaksanakan oleh makhluk yang memiliki logika Maka perlulah diciptakan jin dan manusia yang akan menjalani ujian dimana dapat ditentukan berlakunya pengabdian dimaksud. Kedua macam makhluk ini membutuhkan tempat hidup dimana segala kebutuhan dalam pengujian tersedia secara alamiah atau ilmiah, maka diciptakanlah benda angkasa berbagai bentuk, masa dan fungsi. Semuanya terlaksana secara logis menurut rencana tepat, dan tiba masanya dimulai penciptaan Jin dan Manusia, masing-masing berbeda di segi abstrak dan konkrit.
Allah itu Pencipta tiap sesuatu dan DIA menjaga tiap sesuatu itu. (QS 39/62)
DIA pelaksana bagi apa yang DIA inginkan. (QS 85/16)
Dan tidaklah AKU ciptakan jin dan manusia itu kecuali untuk menyembah AKU (di akhirat utamanya). QS 51/96.
B. Arti Hidup KINI
Al Qur’an memberikan ajaran tentang arti hidup bahwa hendaklah menghubungkan dirinya secara langsung kepada Allah dengan cara melaksanakan hukum-hukum tertulis dalam al quran, dan menghubungkan dirinya pada masyarakat sesamanya dalam melaksanakan tugas amar makhruf nahi munkar.
DIAlah yang menciptakan kematian dan kehidupan agar DIA menguji kamu yang mana diantara kamu yang lebih baik perbuatannya, dan DIA Mulia dan Pengampun. (QS 67/2)
Bahwa Kami menunjukkan garis hukum padanya (manusia itu), terserah padanya untuk bersyukur atau kafir. (QS 76/3)
C. Tujuan hidup
Al Qur’an menjelaskan bahwa kehidupan kini bukanlah akan berlalu tanpa akibat tetapi berlangsung dengan catatan atas semua gerak zahir dan batin yang menentukan nilai setiap indivisu untuk kehidupan konkrit nantinya di alam akhirat, dimana kehidupan terpisah antara yang beriman dan yang kafir untuk selamanya.
Dan berlombalah kepada keampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya sama dengan luas planet-planet dan Bumi ini, dijanjikan untuk para muttaqien. (QS 3/133)
Sungguh kami ciptakan manusia itu pada perwujudan yang lebih baik. Kemudian kami tempatkan dia kepada kerendahan yang lebih rendah. Kecuali orang-orang beriman dan beramal shaleh, maka untuk mereka upah yang terhingga. QS 95/4-6)
Dengan keterangan singkat ini, jelaslah bahwa Al Qur’an bukan saja menjelaskan kenapa adanya hidup kini, tetapi juga memberikan arti hidup serta tujuannya yang harus dicapai oleh setiap diri.
Keterangan Al Qur’an seperti demikian dapat diterima akal sehat dan memang hanyalah kitab suci itulah yang mungkin memberikan penjelasan demikian.
Setetes Cicipan Syurga
Setetes Cicipan Syurga
Alkisah…di Kufah ada seorang pemuda tampan, serta sangat rajin beribadah, wajahnya selalu penuh dengan linangan air mata, karena begitu takutnya dengan Allah, dan begitu gembiranya atas segala karunia Allah. Suatu hari, karena ada suatu keperluan, pemuda tersebut berkunjung ke kampung dari Bani An-Nakha’, lisannya tidak pernah berhenti dari zikir, selalu mengagungkan nama Allah, derap langkahnya bijaksana, setiap ada orang dia sapa dengan ramah, di saat sedang berjalan, pemuda itu bertemu dengan seorang wanita dengan kecantikan seindah bidadari surga, jilbab yang lebar, wajah yang rupawan, derap langkah yang mempesona, sungguh menjadi pesona tiap pemuda yang merindukan istri yang shalehah, di saat mata mereka saling menatap, ada sebuah gejolak rasa yang aneh melintas di dalam dada, perasaan aneh yang semakin bergelora, semakin lama semakin menyiksa, dan akhirnya berpuncak pada suatu kesadaran kepada keduanya, Astagfirullah, rupanya syaitan sudah mulai menancapkan godaan sesatnya, keduanya menunduk, mengalihkan pandangan demi menjaga kemuliaan.
Malamnya sungguh menjadi malam yang sangat menyiksa bagi sang pemuda, entah kenapa shalat malamnya menjadi terganggu, setiap dia mengangkat takbir, maka bayangan wanita tersebut kembali muncul, merasuki pikirannya, menghantui jiwanya, air mata pemuda semakin deras, ketika dia kehilangan kekhusukan shalatnya, setelah sekian lama berkecamuk, mencoba melawan bayangan si wanita, pemuda itu jatuh, tersungkur, dan akhirnya pingsan, dengan lelehan air mata yang terus mengalir.
Sedangkan di tempat yang berlainan, sapu tangan wanita basah kuyup akibat menahan air matanya, dia tidak bisa menahan kerinduan yang berkecamuk di dalam dada, setiap cerita dan pendapat dari orang-orang yang mengenal tentang keshalehan dan kemuliaan akhlak sang pemuda sudah membuatnya cukup untuk merasakan cinta, apalagi ketampanan pemuda yang bisa di kategorikan nabi yusuf zaman sekarang semakin membuatnya menggila, rasa rindu semakin menyiksanya.
Di saat batin sudah menjerit, hati tidak bisa menahan, dan kerinduan tidak terbantahkan, berangkatlah sang pemuda untuk menemui sang ayah wanita yang menarik hatinya, dengan tujuan melamar untuk memuliakan wanita, dan untuk menjaga pandangannya serta menyempurnakan separuh agama, tetapi jawaban sang ayah wanita, seperti guntur yang menggelora, siap mencabik siapa saja yang dekat dengannya, apalah daya, jika si wanita, telah di jodohkan dengan sepupunya, pemuda pulang dengan tangan hampa, hanya iman di dalam dada, yang bisa membuatnya sekuat baja, meskipun tangan seakan menggenggam bara, tetapi baginya, cobaan adalah bentuk dari kasih sayangNya.
Walau demikian, ternyata cinta di antara keduanya benar-benar semakin bergelora, akhirnya sang wanita mengirim surat dengan bantuan seseorang kepada sang pemuda, begitu tahu surat tersebut dari pujaan hatinya, sang pemuda gembira seakan memiliki dunia, di genggamnya surat tersebut, lalu di bacanya dengan perlahan.
“Aku telah tahu betapa besar cintamu kepadaku, dan betapa besar pula aku diuji dengan kamu. Bila kamu setuju, aku akan mengunjungimu atau aku akan mempermudah jalan bagimu untuk datang menemuiku di rumahku”.
Batin pemuda semakin tersiksa, dia mempunyai dua pilihan, antara bersenang-senang dengan wanita yang di cintainya meskipun mendapat laknat Allah, atau menolak permintaan pujaan hatinya demi menjaga kemuliaan dirinya, pesona positif dan negatif di dalam dirinya, bertarung sengit, tapi dia yakin, bahwa Allah akan melaknatnya dengan hina, jikalau dia menerima ajakan si wanita, lalu pemuda membalas suratnya.
“Aku tidak setuju dengan dua alternatif itu, “sesungguhnya aku merasa takut bila aku berbuat maksiat pada Rabbku akan adzab yang akan menimpaku pada hari yang besar.” (Yunus:15) ,Aku takut pada api yang tidak pernah mengecil nyalanya dan tidak pernah padam kobarannya.”
Setelah membaca surat dari pemuda, luluhlah hati sang wanita, dia menyadari bahwa syaitan sudah menguasai dirinya, si wanita berkata “Walau demikian, rupanya dia masih takut kepada Allah? Demi Allah, tak ada seseorang yang lebih berhak untuk bertaqwa kepada Allah dari orang lain. Semua hamba sama-sama berhak untuk itu.” Dia tebus kesalahannya dengan meningkatkan ketakwaannya, dia jauhi urusan dunia, akan tetapi, dia masih memendam rindunya kepada pemuda, tubuhnya mulai semakin kurus dan kurus menahan rindunya, sampai akhirnya, sang wanita menutup mata untuk selama-lamanya, meninggalkan dunia yang fana. Sang pemuda sering datang menziarahi kuburnya, dia menangis dan mendoakan kebaikan bagi wanita yang di cintainya, suatu hari sang pemuda tertidur di atas kuburannya, dia bermimpi bertemu sang wanita yang dicintainya dalam penampilan yang sangat baik, dalam mimpi, sang pemuda bertanya kepada wanita, “Bagaimana keadaanmu? Dan apa yang kamu dapatkan setelah meninggal?”
Sang wanita menjawab “Sebaik-baik cinta wahai orang yang bertanya, adalah cintamu. Sebuah cinta yang dapat mengiring menuju kebaikan.”
Pemuda itu bertanya, “Jika demikian, kemanakah kau menuju?” Dia jawab, “Aku sekarang menuju pada kenikmatan dan kehidupan yang tak berakhir. Di Surga kekekalan yang dapat kumiliki dan tidak akan pernah rusak.”
Pemuda itu berkata, “Aku harap kau selalu ingat padaku di sana, sebab aku di sini juga tidak melupakanmu.” Dia jawab, “Demi Allah, aku juga tidak melupakanmu. Dan aku meminta kepada Tuhanku dan Tuhanmu (Allah Subhanahuwataala) agar kita nanti bisa dikumpulkan. Maka, bantulah aku dalam hal ini dengan kesungguhanmu dalam ibadah.”
Si pemuda bertanya, “Kapan aku bisa melihatmu?” Jawab si wanita: “Tak lama lagi kau akan datang melihat kami.” Tujuh hari setelah mimpi itu berlalu, si pemuda dipanggil oleh Allah menuju kehadiratNya, meninggal dunia.
Begitu indahnya, jikalau cinta, menjadikan seseorang dalam ketaatan, begitu indahnya, jikalau cinta, bersatu dalam ikatan, dan kembali bertemu dalam surgaNya, kekal selama-lamanya dalam kebahagiaan, oh cinta, begitu suci dan mulianya, sebuah cinta yang terjalin dalam ketaatan.
Ketika kita membaca perkataan dari sang wanita “Sebaik-baik cinta wahai orang yang bertanya, adalah cintamu. Sebuah cinta yang dapat mengiring menuju kebaikan.” Betapa mulianya jikalau cinta sebagus itu, tapi ketika melihat fenomena di depan mata, sungguh kesucian cinta begitu ternoda, kesucian cinta telah ternoda dengan aktifitas zina, “pacaran” merajalela, dan menjadi menu wajib bagi para kawula muda, andai mereka sadar, betapa terbahak-bahaknya syaitan melihat kelakuan mereka, jikalau cinta bisa di dapatkan melalui “pacaran”, maka siap-siaplah mereka menderita, siap-siaplah mereka tertipu. Ketahuilah saudaraku, tidak ada yang namanya cinta dalam aktifitas pacaran, semuanya embel-embel zina yang di kemas syaitan menjadi perilaku yang menyenangkan, yang namanya zina, itu tidak hanya pada bagian antara pusar sampai lutut, semua anggota tubuh bisa jadi terdakwa, zina mata karena melihat, zina kata-kata karena rayuan gombal, zina hati karena berangan-angan, dan sebagainya, saudaraku, tundukkanlah pandanganmu demi kemulian, jangan biarkan kulitmu di tembus oleh besi dari neraka karena bersentuhan dengan yang bukan mahram, cukuplah Allah sebagai penolongmu dan tempat berserah diri.
Kita lihat, orang pacaran paling alim pegangan tangan, begitu mudahnya cinta di ungkapkan, aku mencintaimu, tetapi dia mengajak pasangannya ke dalam kemaksiatan, apakah seperti itu yang di katakan cinta, bahkan banyak para muslimah yang dulunya penuh ketaatan, tetapi berubah drastis karena aktifitas pacaran, tidak sedikit teman-teman muslimah yang saya kenal terperangkap oleh belenggu seperti itu, meskipun dia memakai kerudung, sering belajar agama, tetapi karena aktifitas pacaran, semuanya menjadi kabur, mereka senang-senang saja saat tangan sang pemuda menyentuh tubuhnya, menyentuh kulitnya, masya Allah, mudah-mudahan kita semakin istiqomah di jalan ketaatan, dan bagi saudara-saudariku yang sedang melakukan hal itu, semoga Allah melembutkan hatimu, menyadarkanmu dari belenggu syaitan.
Sebaik-baik cinta adalah cinta yang di balut dalam ikatan suci pernikahan, saudaraku, bila engkau mencintai seseorang, bingkailah dirimu dan dirinya dengan tali yang di rahmatiNya, sambutlah dirimu dan dirinya dengan keindahan cinta di atas cinta, mohonlah kemantapan untuk membingkai cintamu dalam ikatan suci pernikahan. (http://myhoney.isgreat.org/2010/05/setetes-cicipan-syurga)
Wallahu ‘alam
Alkisah…di Kufah ada seorang pemuda tampan, serta sangat rajin beribadah, wajahnya selalu penuh dengan linangan air mata, karena begitu takutnya dengan Allah, dan begitu gembiranya atas segala karunia Allah. Suatu hari, karena ada suatu keperluan, pemuda tersebut berkunjung ke kampung dari Bani An-Nakha’, lisannya tidak pernah berhenti dari zikir, selalu mengagungkan nama Allah, derap langkahnya bijaksana, setiap ada orang dia sapa dengan ramah, di saat sedang berjalan, pemuda itu bertemu dengan seorang wanita dengan kecantikan seindah bidadari surga, jilbab yang lebar, wajah yang rupawan, derap langkah yang mempesona, sungguh menjadi pesona tiap pemuda yang merindukan istri yang shalehah, di saat mata mereka saling menatap, ada sebuah gejolak rasa yang aneh melintas di dalam dada, perasaan aneh yang semakin bergelora, semakin lama semakin menyiksa, dan akhirnya berpuncak pada suatu kesadaran kepada keduanya, Astagfirullah, rupanya syaitan sudah mulai menancapkan godaan sesatnya, keduanya menunduk, mengalihkan pandangan demi menjaga kemuliaan.
Malamnya sungguh menjadi malam yang sangat menyiksa bagi sang pemuda, entah kenapa shalat malamnya menjadi terganggu, setiap dia mengangkat takbir, maka bayangan wanita tersebut kembali muncul, merasuki pikirannya, menghantui jiwanya, air mata pemuda semakin deras, ketika dia kehilangan kekhusukan shalatnya, setelah sekian lama berkecamuk, mencoba melawan bayangan si wanita, pemuda itu jatuh, tersungkur, dan akhirnya pingsan, dengan lelehan air mata yang terus mengalir.
Sedangkan di tempat yang berlainan, sapu tangan wanita basah kuyup akibat menahan air matanya, dia tidak bisa menahan kerinduan yang berkecamuk di dalam dada, setiap cerita dan pendapat dari orang-orang yang mengenal tentang keshalehan dan kemuliaan akhlak sang pemuda sudah membuatnya cukup untuk merasakan cinta, apalagi ketampanan pemuda yang bisa di kategorikan nabi yusuf zaman sekarang semakin membuatnya menggila, rasa rindu semakin menyiksanya.
Di saat batin sudah menjerit, hati tidak bisa menahan, dan kerinduan tidak terbantahkan, berangkatlah sang pemuda untuk menemui sang ayah wanita yang menarik hatinya, dengan tujuan melamar untuk memuliakan wanita, dan untuk menjaga pandangannya serta menyempurnakan separuh agama, tetapi jawaban sang ayah wanita, seperti guntur yang menggelora, siap mencabik siapa saja yang dekat dengannya, apalah daya, jika si wanita, telah di jodohkan dengan sepupunya, pemuda pulang dengan tangan hampa, hanya iman di dalam dada, yang bisa membuatnya sekuat baja, meskipun tangan seakan menggenggam bara, tetapi baginya, cobaan adalah bentuk dari kasih sayangNya.
Walau demikian, ternyata cinta di antara keduanya benar-benar semakin bergelora, akhirnya sang wanita mengirim surat dengan bantuan seseorang kepada sang pemuda, begitu tahu surat tersebut dari pujaan hatinya, sang pemuda gembira seakan memiliki dunia, di genggamnya surat tersebut, lalu di bacanya dengan perlahan.
“Aku telah tahu betapa besar cintamu kepadaku, dan betapa besar pula aku diuji dengan kamu. Bila kamu setuju, aku akan mengunjungimu atau aku akan mempermudah jalan bagimu untuk datang menemuiku di rumahku”.
Batin pemuda semakin tersiksa, dia mempunyai dua pilihan, antara bersenang-senang dengan wanita yang di cintainya meskipun mendapat laknat Allah, atau menolak permintaan pujaan hatinya demi menjaga kemuliaan dirinya, pesona positif dan negatif di dalam dirinya, bertarung sengit, tapi dia yakin, bahwa Allah akan melaknatnya dengan hina, jikalau dia menerima ajakan si wanita, lalu pemuda membalas suratnya.
“Aku tidak setuju dengan dua alternatif itu, “sesungguhnya aku merasa takut bila aku berbuat maksiat pada Rabbku akan adzab yang akan menimpaku pada hari yang besar.” (Yunus:15) ,Aku takut pada api yang tidak pernah mengecil nyalanya dan tidak pernah padam kobarannya.”
Setelah membaca surat dari pemuda, luluhlah hati sang wanita, dia menyadari bahwa syaitan sudah menguasai dirinya, si wanita berkata “Walau demikian, rupanya dia masih takut kepada Allah? Demi Allah, tak ada seseorang yang lebih berhak untuk bertaqwa kepada Allah dari orang lain. Semua hamba sama-sama berhak untuk itu.” Dia tebus kesalahannya dengan meningkatkan ketakwaannya, dia jauhi urusan dunia, akan tetapi, dia masih memendam rindunya kepada pemuda, tubuhnya mulai semakin kurus dan kurus menahan rindunya, sampai akhirnya, sang wanita menutup mata untuk selama-lamanya, meninggalkan dunia yang fana. Sang pemuda sering datang menziarahi kuburnya, dia menangis dan mendoakan kebaikan bagi wanita yang di cintainya, suatu hari sang pemuda tertidur di atas kuburannya, dia bermimpi bertemu sang wanita yang dicintainya dalam penampilan yang sangat baik, dalam mimpi, sang pemuda bertanya kepada wanita, “Bagaimana keadaanmu? Dan apa yang kamu dapatkan setelah meninggal?”
Sang wanita menjawab “Sebaik-baik cinta wahai orang yang bertanya, adalah cintamu. Sebuah cinta yang dapat mengiring menuju kebaikan.”
Pemuda itu bertanya, “Jika demikian, kemanakah kau menuju?” Dia jawab, “Aku sekarang menuju pada kenikmatan dan kehidupan yang tak berakhir. Di Surga kekekalan yang dapat kumiliki dan tidak akan pernah rusak.”
Pemuda itu berkata, “Aku harap kau selalu ingat padaku di sana, sebab aku di sini juga tidak melupakanmu.” Dia jawab, “Demi Allah, aku juga tidak melupakanmu. Dan aku meminta kepada Tuhanku dan Tuhanmu (Allah Subhanahuwataala) agar kita nanti bisa dikumpulkan. Maka, bantulah aku dalam hal ini dengan kesungguhanmu dalam ibadah.”
Si pemuda bertanya, “Kapan aku bisa melihatmu?” Jawab si wanita: “Tak lama lagi kau akan datang melihat kami.” Tujuh hari setelah mimpi itu berlalu, si pemuda dipanggil oleh Allah menuju kehadiratNya, meninggal dunia.
Begitu indahnya, jikalau cinta, menjadikan seseorang dalam ketaatan, begitu indahnya, jikalau cinta, bersatu dalam ikatan, dan kembali bertemu dalam surgaNya, kekal selama-lamanya dalam kebahagiaan, oh cinta, begitu suci dan mulianya, sebuah cinta yang terjalin dalam ketaatan.
Ketika kita membaca perkataan dari sang wanita “Sebaik-baik cinta wahai orang yang bertanya, adalah cintamu. Sebuah cinta yang dapat mengiring menuju kebaikan.” Betapa mulianya jikalau cinta sebagus itu, tapi ketika melihat fenomena di depan mata, sungguh kesucian cinta begitu ternoda, kesucian cinta telah ternoda dengan aktifitas zina, “pacaran” merajalela, dan menjadi menu wajib bagi para kawula muda, andai mereka sadar, betapa terbahak-bahaknya syaitan melihat kelakuan mereka, jikalau cinta bisa di dapatkan melalui “pacaran”, maka siap-siaplah mereka menderita, siap-siaplah mereka tertipu. Ketahuilah saudaraku, tidak ada yang namanya cinta dalam aktifitas pacaran, semuanya embel-embel zina yang di kemas syaitan menjadi perilaku yang menyenangkan, yang namanya zina, itu tidak hanya pada bagian antara pusar sampai lutut, semua anggota tubuh bisa jadi terdakwa, zina mata karena melihat, zina kata-kata karena rayuan gombal, zina hati karena berangan-angan, dan sebagainya, saudaraku, tundukkanlah pandanganmu demi kemulian, jangan biarkan kulitmu di tembus oleh besi dari neraka karena bersentuhan dengan yang bukan mahram, cukuplah Allah sebagai penolongmu dan tempat berserah diri.
Kita lihat, orang pacaran paling alim pegangan tangan, begitu mudahnya cinta di ungkapkan, aku mencintaimu, tetapi dia mengajak pasangannya ke dalam kemaksiatan, apakah seperti itu yang di katakan cinta, bahkan banyak para muslimah yang dulunya penuh ketaatan, tetapi berubah drastis karena aktifitas pacaran, tidak sedikit teman-teman muslimah yang saya kenal terperangkap oleh belenggu seperti itu, meskipun dia memakai kerudung, sering belajar agama, tetapi karena aktifitas pacaran, semuanya menjadi kabur, mereka senang-senang saja saat tangan sang pemuda menyentuh tubuhnya, menyentuh kulitnya, masya Allah, mudah-mudahan kita semakin istiqomah di jalan ketaatan, dan bagi saudara-saudariku yang sedang melakukan hal itu, semoga Allah melembutkan hatimu, menyadarkanmu dari belenggu syaitan.
Sebaik-baik cinta adalah cinta yang di balut dalam ikatan suci pernikahan, saudaraku, bila engkau mencintai seseorang, bingkailah dirimu dan dirinya dengan tali yang di rahmatiNya, sambutlah dirimu dan dirinya dengan keindahan cinta di atas cinta, mohonlah kemantapan untuk membingkai cintamu dalam ikatan suci pernikahan. (http://myhoney.isgreat.org/2010/05/setetes-cicipan-syurga)
Wallahu ‘alam
Langganan:
Postingan (Atom)